Minggu, 01 Juli 2012
Kejahatanku Part 1
Kategori:
Cerita Gay
Kupandangi wajahku di cermin sekali lagi, menatap wajah yang tampan, klimis dengan potongan rambut yang tidak begitu pendek dan berminyak, memegang pipi dan daguku yang halus tanpa sehelai rambutpun, aku telah mencukurnya tadi siang.
Ini saatnya untuk bersenang-senang. Mengendarai mobil Panther berwarna hitam, mobil kesukaanku, mobil yang bersejarah dan banyak kenangan.
Mobil kuparkir dengan baik, menghidupkan alarm sebelum memasuki pintu utara Mall. Salah satu mall yang terbesar di kota ini. Aku jarang ke tempat ini, namun aku ingat di mana posisi ATM berada. Ada beberapa ATM dari beberapa bank di tempat tersebut dan banyak antrian rupanya. Aku melihat pajangan etalase yang berada di sebelah kiri, tak berapa jauh letaknya dari ATM tersebut, sambil mengamati orang-orang yang melewatiku, menunggu, menunggu orang yang cocok untuk kujadikan korbanku malam ini.
Akhirnya, target utamaku kelihatan. Seorang laki-laki bertubuh sedang dan proposional dengan tingginya, berkumis tebal, hitam dan ikal, membuat laki-laki tersebut bertambah tampan dan berwibawa, dengan rambut yang ikal, rapi dan rambut putihnya sedikit kelihatan di sebelah kiri dan kanan agak menutupi kedua telinganya. Pakaian dan sepatu yang dikenakannya menunjukan bahwa laki-laki tersebut adalah orang yang mapan hidupnya, mungkin pengusaha atau seorang pegawai dengan jabatan yang sangat bagus di perusahaan tempat dia bekerja.
Aku ikut antri di belakang laki-laki tersebut, sambil memegang kartu ATM kepunyaanku.
"Antriannya lumayan juga yah Pak", ucapku berbasa-basi.
"Maklum bulan muda, yah", jawabnya.
"Mengajak keluarga jalan-jalan di bulan muda ini memang menyenangkan yah", aku memulai mengajaknya mengobrol kembali.
"Begitulah Mas, kapan lagi kita bisa menyenangkan orang rumah yang setiap hari di rumah, kita ajak sekali-kali biar tidak bosan dia, yah refreshinglah".
"Keluarga ada di mana Pak?", tanyaku sambil memukul pundaknya.
"Sebelah sana, di counter pakaian, mau pilih-pilih baju katanya", laki-laki tersebut menjawab pertanyaanku.
"Bagaimana kalo kita mengobrol dulu, saya ada bisnis yang sangat bagus dan mungkin Bapak tertarik", bisikku tak jauh dari telinganya sambil menepuk sisi pundaknya yang lain.
Laki-laki tersebut mengikutiku dengan spontan, keluar dari antrian. Aku berjalan menuju tangga darurat yang terletak bersebelahan dengan toilet dan menaiki anak tangga tersebut satu persatu. Di belakang, laki-laki tersebut terus mengikutiku, dan kami sudah berada di lantai 2 mall tersebut. Memasuki kamar toilet pria yang paling ujung, langsung kututup dan kukunci pintu kamar toilet setelah laki-laki tersebut berada di dalam.
Laki-laki tersebut hanya diam saja dengan tatapan kosong, dan aku mulai menjamah celananya, merogoh kantong bagian belakang, mengambil dompet dan membukanya. Uang ratusan ribu ada di dalamnya, dengan jumlah yang cukup lumayan, kuambil kartu kredit dan tiga kartu ATM dari bank yang berlainan. Aku tersenyum membaca nama yang tertera pada kartu-kartu tersebut. Suryo Widodo. Yah, betul dugaanku, laki-laki ini potensial untuk dijadikan korban, korban kejahatanku, korban hipnotisku. Mudah bagiku untuk mengetahui berapa banyak uang yang dimiliki laki-laki tersebut di ketiga kartu ATM-nya dan nomor PIN-nya juga.
Aku keluar dari kamar toilet setelah membisikan perintah kepada Pak Suryo dan 10 menit kemudian aku kembali, melihat laki-laki tersebut masih menatapku dengan tatapan kosongnya. Aku memeluk Pak Suryo, mencium bibirnya dengan lembut, tanganku menyentuh kontol laki-laki tersebut dan meremas-remasnya, akh.. lumayan besar, saat aku merasakan kontol laki-laki tersebut.
"Ayo, kita lihat berapa besar kontolmu Sayang", ucapku sambil mencium bibir laki-laki tersebut kembali dan berjongkok melepaskan gesper yang dia kenakan dan celana panjang dan kolornya aku perosoti sebatas paha. Akhh, kulihat kontolnya yang besar, hitam dengan jembut-jembut yang lebat, hitam dan ikal.
"Aku akan melakukannya dengan cepat, yah dengan cepat Sayang..", ucapku memandangnya sambil terus meremas-remas kontol Pak Suryo.
Kontol laki-laki tersebut mulai bereaksi bertambah besar dan memanjang, aku langsung menyambutnya dengan mulutku, aku mengisap-isap batang kontol laki-laki tersebut, menikmatinya, hemm.. enak.. kenyal.. Aku terus mengocok batang kontol Pak Suryo di dalam mulutku..
"Akhh..", desahku. Pak Suryo hanya diam dengan tatapan semula saat aku menghipnotisnya.
Aku berdiri, membalikkan tubuh laki-laki tersebut menghadap tembok, meremas-remas pantatnya yang berbulu, kontolku yang sudah tegang, besar dan panjang keluar dari balik resleting dan perlahan aku menancapkan kontolku ke dalam lubang pantat Pak Suryo.
"Jangan mendesah atau menjerit, saya tidak mau mendengar suara Bapak di tempat ini", bisikku.
Aku memuaskan nafsuku, mengentot lubang pantat Pak Surto, menekan pantatku dengan pelan, agar batang kontolku masuk lebih dalam lagi. Aku mendesah merasakan sempitnya burit Pak Suryo, lubang pantat yang masih perawan. Krakk.., bunyi robekan Burit Pak Suryo tidak kuhiraukan, aku terus memuaskan nafsuku, menyodomi lubang pantatnya, menggerakan pantatku dengan cepat, sehingga batang kontolku masuk dan keluar.
Aku mendesah pelan, merasakan jepitan lubang pantat Pak suryo yang semakin terasa membetot batang kontolku, gerakan pantatku kupercepat untuk mengakhiri permainanku, dan akhirnya puncak kenikmatan kurasakan, menarik tubuh Pak suryo, memeluknya erat.. Aku mendesah melepaskan maniku ke dalam lubang pantatnya.
Kurapikan pakaianku dan pakaian Pak Suryo sambil mencium bibir laki-laki tersebut dengan pelan dan mendekatkan mulutku ke telinganya dan berbisik.
"Kamu tidak akan mengingat pertemuan dengan saya dan tidak ingat dengan kejadian ini, dan akan sadar saat merasakan sakit setelah keesokan harinya. Bersikaplah tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan memang tidak ada yang terjadi. Temui keluarga, dan terimakasih atas uang dan kenikmataan yang kamu berikan kepada Saya. Selamat tinggal sayang", ucapku sambil mengelus pipinya, tersenyum melihat laki-laki tersebut yang berjalan meninggalkan kamar toilet. Uang senilai 15 juta dari ketiga kartu ATM-nya sudah berada di tanganku, dan aku telah memasukan 1 juta rupiah ke dalam dompetnya.
Aku mengendarai mobil Pantherku meninggalkan mall tersebut, memasuki jalan tol, menuju utara mencari tempat keramaian dan memikat laki-laki muda untuk bercinta, ngentot bersama. Aku meminggirkan mobil, saat melihat beberapa laki-laki duduk di depan pool billyard dan memanggil mereka. Seorang laki-laki berbadan besar datang dan menghampiriku..
"Ada apa Om?", tanyanya.
"Mau ikut?", tanyaku langsung mengajaknya. Laki-laki itu memandangku dengan heran.
"Ayolah", ajakku lagi.
"Kemana Om?"
"Yah, kemana saja, ke discotique, ke twenty one, atau ke mana sajalah, dari pada duduk bengong, ajak teman elo kalo mau".
Laki-laki tersebut berteriak mengajak dua orang temannya. Mobil kembali kukemudikan dengan perlahan setelah tiga laki-laki tersebut naik. Sambil mengobrol basa-basi kutanyakan nama dan latar belakang mereka dan ternyata mereka masih menganggur.
"Baru tamat sekolah Om", jawab Edi, laki-laki yang menghampiriku dan sekarang duduk di sebelahku.
"Masa sih, baru tamat?", tanyaku bercanda.
"Betul Om, suer! Kalo Bambang tahun kemarin tamatnya", jawab Edi.
Aku melihat Bambang dari kaca spion, laki-laki berbadan tinggi dengan jenggot tipis dan lebat menghiasi dagunya. Akh.. Ketiga laki-laki ini tampan-tampan ternyata, pikirku sambil tersenyum.
"Kita ke twenty one saja yah", ajakku.
"Ah, kemana saja OK-lah Om, menghilangkan suntuk", ucap Anton.
"Bagaimana dengan elo, Ed?", tanyaku pada laki-laki berhidung mancung dengan kulitnya yang sedikit gelap tersebut.
"Akh, terserahlah Om, yang penting happy", jawabnya sambil tersenyum.
Aku tersenyum melihatnya, merangkul pundaknya yang keras.. Akhh.. Sebentar lagi nafsuku akan terpuaskan oleh anak ini, pikirku.
"Elo, orang arab?", tanyaku.
"Ah, enggak Om, orang Indonesia asli, Bapak orang ambon, Ibu orang Jawa", jawab Edi.
"Kalo kami sih memang sering memanggilnya Arab, Om", jawab Anton lagi dari belakang.
"Kalo Om lihat kalian ini pasti sering ke lokasi, sering ngentot yah?", tanyaku.
"Sekali-kalilah Om, kalo ada uang", jawab edi.
"Kalo tidak ada uang paling maen sama bencong", Bambang nyeletuk dari belakang.
"Wah, suka maen sama bencong juga yah", ucapku tersenyum.
Tanganku menyentuh totong Edi, meremasnya sesaat, Edi terkejut juga.
"Yah, betul, elo sudah pengen ngentot", ucapku. Edi hanya tersenyum.
Di dalam bioskop, aku duduk di samping Edi, menanti pemutaran film, mengobrol sejenak, dan sangat akrab, aku melingkarkan tanganku ke pundaknya, hingga saat lampu di matikan dan film di mulai. Tak sabar tanganku menyentuh kontolnya lagi.
"Om?", tanya Edi.
"Sstt", ucapku memberi isyarat agar dia diam. Edi sedikit memberontak.
"Tenanglah, Om hanya mau bersenang-senang sebentar dan Om akan kasih imbalan ke elo".
Edi agak santai sekarang, tanganku mulai meremas-remas kontolnya yang menjadi bereaksi. Tak puas dengan meremas-remas kontolnya dari balik celana, aku menyuruh Edi mengeluarkannya. Edi membuka resleting celananya dan mengeluarkan batang kontolnya yang begitu besar dan panjang saat aku memegangnya.
"Besar dan Panjang yah", bisikku.
"Kontol Ambon Om", bisik Edi lagi sambil tersenyum.
Aku terus meremas-remasnya sambil mengocok-ngocok batang kontolnya yang besar dan panjang tersebut, hingga tak peduli lagi pada kedua temannya yang duduk di sampingku juga, aku langsung melumat kontol Edi, mulutku membetol batang kenyal tersebut, sambil menggesek-gesekan gigiku ke batang totongnya.
"Akhh.. Om, Om..", ucap Edi sedikit meronta.
"Om, jangan", ucapnya.
Aku sadar dan kembali dengan posisi dudukku, Anton yang duduk di sebelahku melihat dengan keheranan, aku tersenyum melihatnya
"Akh.. Om bernafsu sekali melihat batang kontol Edi", ucapku sambil tersenyum. Lalu Bambang berdiri, menarik tangan Anton.
"Ayo kita pulang".
Laki-laki tersebut memandangku dengan tatapan tajam, yah tatapan yang tidak menyukaiku. Dengan tiba-tiba tangannya langsung menarik bajuku, sementara tangannya yang lain bersiap untuk mendarat ke mukaku. Aku langsung memegang tangannya yang mengepal tersebut, menahannya.
"Tenang, tenang..", ucapku.
"Saya bisa membayar kalian 1 juta, kalo kalian mau", ucapku lagi.
"Kami bukan homo, Om", ucap Anton.
"Yah, tapi kalian pernah ngentot dengan bencong khan? Dan kali ini saya yang akan membayar kalian", ucapku pelan, agak malu karena suara ribut kami, penonton agak terganggu.
Aku mendekati Bambang yang mulai kembali duduk dan menepuk kedua pundaknya..
"Sebaiknya kamu duduk tenang dan diam", bisikku dan kembali duduk di samping Edi. Laki-laki tersebut menatapku dengan pandangan kosong.
"Saya akan memberi imbalan satu juta dan memuaskanmu, kita akan sama-sama puas", ucapku lagi merayunya. Edi tampak sedikit tenang, permainan aku lanjutkan, meremas-remas kontolnya kembali yang telah dimasukannya kembali ke dalam celananya dan mengancingkan resletingnya.
Ini saatnya untuk bersenang-senang. Mengendarai mobil Panther berwarna hitam, mobil kesukaanku, mobil yang bersejarah dan banyak kenangan.
Mobil kuparkir dengan baik, menghidupkan alarm sebelum memasuki pintu utara Mall. Salah satu mall yang terbesar di kota ini. Aku jarang ke tempat ini, namun aku ingat di mana posisi ATM berada. Ada beberapa ATM dari beberapa bank di tempat tersebut dan banyak antrian rupanya. Aku melihat pajangan etalase yang berada di sebelah kiri, tak berapa jauh letaknya dari ATM tersebut, sambil mengamati orang-orang yang melewatiku, menunggu, menunggu orang yang cocok untuk kujadikan korbanku malam ini.
Akhirnya, target utamaku kelihatan. Seorang laki-laki bertubuh sedang dan proposional dengan tingginya, berkumis tebal, hitam dan ikal, membuat laki-laki tersebut bertambah tampan dan berwibawa, dengan rambut yang ikal, rapi dan rambut putihnya sedikit kelihatan di sebelah kiri dan kanan agak menutupi kedua telinganya. Pakaian dan sepatu yang dikenakannya menunjukan bahwa laki-laki tersebut adalah orang yang mapan hidupnya, mungkin pengusaha atau seorang pegawai dengan jabatan yang sangat bagus di perusahaan tempat dia bekerja.
Aku ikut antri di belakang laki-laki tersebut, sambil memegang kartu ATM kepunyaanku.
"Antriannya lumayan juga yah Pak", ucapku berbasa-basi.
"Maklum bulan muda, yah", jawabnya.
"Mengajak keluarga jalan-jalan di bulan muda ini memang menyenangkan yah", aku memulai mengajaknya mengobrol kembali.
"Begitulah Mas, kapan lagi kita bisa menyenangkan orang rumah yang setiap hari di rumah, kita ajak sekali-kali biar tidak bosan dia, yah refreshinglah".
"Keluarga ada di mana Pak?", tanyaku sambil memukul pundaknya.
"Sebelah sana, di counter pakaian, mau pilih-pilih baju katanya", laki-laki tersebut menjawab pertanyaanku.
"Bagaimana kalo kita mengobrol dulu, saya ada bisnis yang sangat bagus dan mungkin Bapak tertarik", bisikku tak jauh dari telinganya sambil menepuk sisi pundaknya yang lain.
Laki-laki tersebut mengikutiku dengan spontan, keluar dari antrian. Aku berjalan menuju tangga darurat yang terletak bersebelahan dengan toilet dan menaiki anak tangga tersebut satu persatu. Di belakang, laki-laki tersebut terus mengikutiku, dan kami sudah berada di lantai 2 mall tersebut. Memasuki kamar toilet pria yang paling ujung, langsung kututup dan kukunci pintu kamar toilet setelah laki-laki tersebut berada di dalam.
Laki-laki tersebut hanya diam saja dengan tatapan kosong, dan aku mulai menjamah celananya, merogoh kantong bagian belakang, mengambil dompet dan membukanya. Uang ratusan ribu ada di dalamnya, dengan jumlah yang cukup lumayan, kuambil kartu kredit dan tiga kartu ATM dari bank yang berlainan. Aku tersenyum membaca nama yang tertera pada kartu-kartu tersebut. Suryo Widodo. Yah, betul dugaanku, laki-laki ini potensial untuk dijadikan korban, korban kejahatanku, korban hipnotisku. Mudah bagiku untuk mengetahui berapa banyak uang yang dimiliki laki-laki tersebut di ketiga kartu ATM-nya dan nomor PIN-nya juga.
Aku keluar dari kamar toilet setelah membisikan perintah kepada Pak Suryo dan 10 menit kemudian aku kembali, melihat laki-laki tersebut masih menatapku dengan tatapan kosongnya. Aku memeluk Pak Suryo, mencium bibirnya dengan lembut, tanganku menyentuh kontol laki-laki tersebut dan meremas-remasnya, akh.. lumayan besar, saat aku merasakan kontol laki-laki tersebut.
"Ayo, kita lihat berapa besar kontolmu Sayang", ucapku sambil mencium bibir laki-laki tersebut kembali dan berjongkok melepaskan gesper yang dia kenakan dan celana panjang dan kolornya aku perosoti sebatas paha. Akhh, kulihat kontolnya yang besar, hitam dengan jembut-jembut yang lebat, hitam dan ikal.
"Aku akan melakukannya dengan cepat, yah dengan cepat Sayang..", ucapku memandangnya sambil terus meremas-remas kontol Pak Suryo.
Kontol laki-laki tersebut mulai bereaksi bertambah besar dan memanjang, aku langsung menyambutnya dengan mulutku, aku mengisap-isap batang kontol laki-laki tersebut, menikmatinya, hemm.. enak.. kenyal.. Aku terus mengocok batang kontol Pak Suryo di dalam mulutku..
"Akhh..", desahku. Pak Suryo hanya diam dengan tatapan semula saat aku menghipnotisnya.
Aku berdiri, membalikkan tubuh laki-laki tersebut menghadap tembok, meremas-remas pantatnya yang berbulu, kontolku yang sudah tegang, besar dan panjang keluar dari balik resleting dan perlahan aku menancapkan kontolku ke dalam lubang pantat Pak Suryo.
"Jangan mendesah atau menjerit, saya tidak mau mendengar suara Bapak di tempat ini", bisikku.
Aku memuaskan nafsuku, mengentot lubang pantat Pak Surto, menekan pantatku dengan pelan, agar batang kontolku masuk lebih dalam lagi. Aku mendesah merasakan sempitnya burit Pak Suryo, lubang pantat yang masih perawan. Krakk.., bunyi robekan Burit Pak Suryo tidak kuhiraukan, aku terus memuaskan nafsuku, menyodomi lubang pantatnya, menggerakan pantatku dengan cepat, sehingga batang kontolku masuk dan keluar.
Aku mendesah pelan, merasakan jepitan lubang pantat Pak suryo yang semakin terasa membetot batang kontolku, gerakan pantatku kupercepat untuk mengakhiri permainanku, dan akhirnya puncak kenikmatan kurasakan, menarik tubuh Pak suryo, memeluknya erat.. Aku mendesah melepaskan maniku ke dalam lubang pantatnya.
Kurapikan pakaianku dan pakaian Pak Suryo sambil mencium bibir laki-laki tersebut dengan pelan dan mendekatkan mulutku ke telinganya dan berbisik.
"Kamu tidak akan mengingat pertemuan dengan saya dan tidak ingat dengan kejadian ini, dan akan sadar saat merasakan sakit setelah keesokan harinya. Bersikaplah tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan memang tidak ada yang terjadi. Temui keluarga, dan terimakasih atas uang dan kenikmataan yang kamu berikan kepada Saya. Selamat tinggal sayang", ucapku sambil mengelus pipinya, tersenyum melihat laki-laki tersebut yang berjalan meninggalkan kamar toilet. Uang senilai 15 juta dari ketiga kartu ATM-nya sudah berada di tanganku, dan aku telah memasukan 1 juta rupiah ke dalam dompetnya.
Aku mengendarai mobil Pantherku meninggalkan mall tersebut, memasuki jalan tol, menuju utara mencari tempat keramaian dan memikat laki-laki muda untuk bercinta, ngentot bersama. Aku meminggirkan mobil, saat melihat beberapa laki-laki duduk di depan pool billyard dan memanggil mereka. Seorang laki-laki berbadan besar datang dan menghampiriku..
"Ada apa Om?", tanyanya.
"Mau ikut?", tanyaku langsung mengajaknya. Laki-laki itu memandangku dengan heran.
"Ayolah", ajakku lagi.
"Kemana Om?"
"Yah, kemana saja, ke discotique, ke twenty one, atau ke mana sajalah, dari pada duduk bengong, ajak teman elo kalo mau".
Laki-laki tersebut berteriak mengajak dua orang temannya. Mobil kembali kukemudikan dengan perlahan setelah tiga laki-laki tersebut naik. Sambil mengobrol basa-basi kutanyakan nama dan latar belakang mereka dan ternyata mereka masih menganggur.
"Baru tamat sekolah Om", jawab Edi, laki-laki yang menghampiriku dan sekarang duduk di sebelahku.
"Masa sih, baru tamat?", tanyaku bercanda.
"Betul Om, suer! Kalo Bambang tahun kemarin tamatnya", jawab Edi.
Aku melihat Bambang dari kaca spion, laki-laki berbadan tinggi dengan jenggot tipis dan lebat menghiasi dagunya. Akh.. Ketiga laki-laki ini tampan-tampan ternyata, pikirku sambil tersenyum.
"Kita ke twenty one saja yah", ajakku.
"Ah, kemana saja OK-lah Om, menghilangkan suntuk", ucap Anton.
"Bagaimana dengan elo, Ed?", tanyaku pada laki-laki berhidung mancung dengan kulitnya yang sedikit gelap tersebut.
"Akh, terserahlah Om, yang penting happy", jawabnya sambil tersenyum.
Aku tersenyum melihatnya, merangkul pundaknya yang keras.. Akhh.. Sebentar lagi nafsuku akan terpuaskan oleh anak ini, pikirku.
"Elo, orang arab?", tanyaku.
"Ah, enggak Om, orang Indonesia asli, Bapak orang ambon, Ibu orang Jawa", jawab Edi.
"Kalo kami sih memang sering memanggilnya Arab, Om", jawab Anton lagi dari belakang.
"Kalo Om lihat kalian ini pasti sering ke lokasi, sering ngentot yah?", tanyaku.
"Sekali-kalilah Om, kalo ada uang", jawab edi.
"Kalo tidak ada uang paling maen sama bencong", Bambang nyeletuk dari belakang.
"Wah, suka maen sama bencong juga yah", ucapku tersenyum.
Tanganku menyentuh totong Edi, meremasnya sesaat, Edi terkejut juga.
"Yah, betul, elo sudah pengen ngentot", ucapku. Edi hanya tersenyum.
Di dalam bioskop, aku duduk di samping Edi, menanti pemutaran film, mengobrol sejenak, dan sangat akrab, aku melingkarkan tanganku ke pundaknya, hingga saat lampu di matikan dan film di mulai. Tak sabar tanganku menyentuh kontolnya lagi.
"Om?", tanya Edi.
"Sstt", ucapku memberi isyarat agar dia diam. Edi sedikit memberontak.
"Tenanglah, Om hanya mau bersenang-senang sebentar dan Om akan kasih imbalan ke elo".
Edi agak santai sekarang, tanganku mulai meremas-remas kontolnya yang menjadi bereaksi. Tak puas dengan meremas-remas kontolnya dari balik celana, aku menyuruh Edi mengeluarkannya. Edi membuka resleting celananya dan mengeluarkan batang kontolnya yang begitu besar dan panjang saat aku memegangnya.
"Besar dan Panjang yah", bisikku.
"Kontol Ambon Om", bisik Edi lagi sambil tersenyum.
Aku terus meremas-remasnya sambil mengocok-ngocok batang kontolnya yang besar dan panjang tersebut, hingga tak peduli lagi pada kedua temannya yang duduk di sampingku juga, aku langsung melumat kontol Edi, mulutku membetol batang kenyal tersebut, sambil menggesek-gesekan gigiku ke batang totongnya.
"Akhh.. Om, Om..", ucap Edi sedikit meronta.
"Om, jangan", ucapnya.
Aku sadar dan kembali dengan posisi dudukku, Anton yang duduk di sebelahku melihat dengan keheranan, aku tersenyum melihatnya
"Akh.. Om bernafsu sekali melihat batang kontol Edi", ucapku sambil tersenyum. Lalu Bambang berdiri, menarik tangan Anton.
"Ayo kita pulang".
Laki-laki tersebut memandangku dengan tatapan tajam, yah tatapan yang tidak menyukaiku. Dengan tiba-tiba tangannya langsung menarik bajuku, sementara tangannya yang lain bersiap untuk mendarat ke mukaku. Aku langsung memegang tangannya yang mengepal tersebut, menahannya.
"Tenang, tenang..", ucapku.
"Saya bisa membayar kalian 1 juta, kalo kalian mau", ucapku lagi.
"Kami bukan homo, Om", ucap Anton.
"Yah, tapi kalian pernah ngentot dengan bencong khan? Dan kali ini saya yang akan membayar kalian", ucapku pelan, agak malu karena suara ribut kami, penonton agak terganggu.
Aku mendekati Bambang yang mulai kembali duduk dan menepuk kedua pundaknya..
"Sebaiknya kamu duduk tenang dan diam", bisikku dan kembali duduk di samping Edi. Laki-laki tersebut menatapku dengan pandangan kosong.
"Saya akan memberi imbalan satu juta dan memuaskanmu, kita akan sama-sama puas", ucapku lagi merayunya. Edi tampak sedikit tenang, permainan aku lanjutkan, meremas-remas kontolnya kembali yang telah dimasukannya kembali ke dalam celananya dan mengancingkan resletingnya.
(Bersambung)
KM Sigulintang Part 1
Kategori:
Cerita Gay
Perjalanan ini membuatku bosan, di sekelilingku hanya laut yang terlihat dan dua hari satu malam lagi perjalananku akan berakhir, membawaku bertemu dengan Papa dan Mama tercinta. Aku berdiri di dek kapal, memperhatikan kapal yang akan sandar di Pelabuhan Sekupang, Batam.
Tangga mulai dirapatkan ke dermaga, sebagian penumpang mulai turun dengan berdesak-desakkan sambil membawa barang mereka, ada yang menjinjingnya di atas pundak, ada yang meletakan di atas kepala dan lain sebagainya. Yang lebih seru lagi saat penumpang yang akan naik ke kapal, begitu banyak, saling dorong dan berdesak-desakkan mendahului untuk naik ke atas kapal KM Sigulintang ini. Jepretan kamera tak habis-habisnya kuarahkan pada penumpang kapal tersebut. Dari dulu aku memang menyukai fotografi.
Suara terompet kapal yang keras terdengar beberapa kali menandakan kapal akan segera berangkat, membawa penumpang dengan tujuan Jakarta dan berakhir di Tanjung Perak, Surabaya.
Santai, menikmati pemandangan malam yang indah dengan bintang yang bertaburan, menghiasi langit yang hitam gelap, sesekali pandanganku melihat lalu lalang penumpang kapal, mencari udara segar, atau melihat pedagang yang menawarkan barang dagangannya dan mungkin dengan tujuan yang lain.
Penumpang kapal semakin banyak dari pada sebelumnya, terlihat di sepanjang anjungan kapal dipadati manusia yang karena tidak kebagian tempat di dalam sehingga mereka menempati anjungan kapal ini sebagai tempat tidur dengan menggelar tikar, mereka penumpang kapal kelas ekonomi. Begitu asyiknya dengan pemandangan yang kulihat sambil melamun sehingga tanpa aku sadari dua orang laki-laki sudah berada di sampingku.
"Mau kemana Dik?", tanya laki-laki tersebut. Aku menoleh.
"Oh, Ke Jakarta Bang", jawabku gugup karena kaget.
"Tempat siapa?", tanya laki-laki itu lagi dan naik ke pagar anjungan dan duduk di sampingku.
"Pulang ke rumah Bang"
"Oh, rumahnya di Jakarta?"
"Iya Bang, keluarga ada di sana, lagi liburan sekolah", jawabku menjelaskan.
"Kuliah?"
"Naik kelas 3 SMA, Bang"
Kami mengobrol dengan santai, sesekali tertawa kerena laki-laki tersebut sering melucu. Dengan gayanya yang sedikit kocak dan tidak terlalu kaku sehingga membuat kami menjadi akrab, dan kebosananku dengan perjalanan ini sedikit mencair. Aku memperkenalkan diri pada laki-laki tersebut.
Bang Udin, teman pria tersebut agak pendiam dibandingkan dengan temannya yang satu ini, selalu nyerocos dan sesekali mengomentari atau mengejek orang yang melewati kami. Mereka dalam perjalanan pulang ke kampung halamannya di Pati, Jawa Tengah dan akan turun di Jakarta kemudian melanjutkan perjalanan dengan Bus.
"Wah, perjalanan yang sungguh melelahkan", ucapku.
"Yah, apa boleh buat", jawab Bang Ali, pria tersebut.
Ternyata mereka adalah salah seorang TKI yang di'buang' oleh pemerintah Malaysia karena dicap sebagai Pendatang Haram di Negeri Jiran tersebut, dan kebanyakan penumpang yang naik dari Pelabuhan Sekupang, Batam adalah TKI yang akan pulang ke kampung halamannya. Pantas saja kapal jadi penuh begini, pikirku.
"Untung masih ada sisa uang untuk dibawa ke kampung, jadi tidak malu-maluin", ucap Bang Ali.
"Lagian kenapa harus kerja jauh-jauh Bang, di sini kan juga banyak kerjaan"
"Wah, di sini payah, gajinya murah", komentar Bang Ali dan menceritakan pengalamannya di Malaysia.
Sebagai tukang bangunan yang sudah berkali-kali bolak balik ke Malaysia dan membawa "hasil" yang agak lumayan saat laki-laki tersebut balik ke kampung. Keberhasilannya tersebut dapat membahagiakan orangtua dan adik-adiknya, Bang Ali bisa membeli beberapa petak sawah di kampung, membangun rumah orang tuanya, menyekolahkan adik-adiknya dan lain sebagainya. Bang Ali bertekad untuk kembali lagi ke Negeri Jiran tersebut bila situasi sudah aman.
"Kenapa tidak secara resmi saja Bang?", tanyaku.
"Wah, susah, pengurusannya lama dan berbelit-belit. Belum lagi banyak pemotongan dan sebagainya", jawab Bang Ali.
Aku mendengarkan Bang Ali menceritakan dari awal keberangkatannya saat berusia 17 tahun hingga sampai sekarang yang usianya sudah 25 tahun, dan akan menikah saat kepulangannya ini. Cerita saat dia berada di Negeri Jiran tersebut dan sebagainya, sesekali ceritanya terpotong saat aku bertanya dan laki-laki tersebut melanjutkan ceritanya kembali setelah menjawab pertanyaanku.
Bang Udin mohon diri karena telah merasa mengantuk, katanya dan malam pun semakin larut dan dingin, angin bertiup kencang dari segala penjuru dan aku merapatkan jaketku dan mengancingkannya sampai ke atas leher. Panggilan perut memaksaku untuk memberikan sesuatu ke dalamnya dan aku mengajak Bang Ali ke kantin. Laki-laki tersebut menolak dengan halus.
"Aku traktirlah", ucapku mengajaknya lagi. Aku tahu betul kondisinya yang tidak memungkinkan untuk bersenang-senang menghabiskan uang di kapal ini, sementara uang yang dibawa dari Malaysia tidak begitu banyak apalagi harga makanan di kapal ini dua kali lipat dari harga biasanya.
Kemudian kami duduk santai di kantin di kursi yang paling belakang dengan dua cangkir kopi susu dan pop mie yang sudah terhidang di atas meja kami. Aku langsung menyantap pop mie, sambil terus mendengarkan cerita Bang Ali. Volume suaranya sedikit lebih keras karena alunan suara penyanyi amatiran yang berkaraoke di kantin tersebut terdengar sangat keras. Bang Ali mengomentari suara penyanyi tersebut dengan sinis dan mengejek. Aku tertawa mendengarnya, laki-laki ini memang lucu dan mungkin sedikit sirik dengan orang lain, pikirku.
Setelah beberapa kali Bang Ali menawarkan rokok kepadaku dan akhir kuambil sebatang, menyulut ujung rokok tersebut dan mulai menikmati asapnya yang keluar dari kedua lobang hidungku. Aku bukan pecandu rokok, namun sesekali melakukannya demi pergaulan. Sementara mulut Bang Ali dari tadi terus dihinggapi sebatang rokok, selalu menyambung setelah rokok yang diisapnya tadi sudah pendek. Dari hidungnya terus menerus mengeluarkan asap seperti knalpot motor saja.
"Perokok berat juga yah Bang?", sindirku.
"Yah, beginilah, kebiasaan di kamp jadi terbawa di luaran", jawabnya.
"Sehari bisa berapa bungkus Bang?"
"Dua atau tiga bungkuslah, tergantung suasana hati"
"Wah, gila", ucapku terkejut.
"Apalagi kalo kalah main judi, Abang bisa menghabiskan sampai empat bungkus"
"Tambah gila lagi", ucapku lagi.
"Yah, bayangkan saja, kerja bertahun-tahun hanya di lokasi proyek saja, tidak boleh keluar, kalo keluar bisa tertangkap dan dimasukan ke sel sebelum dibuang. Di sel bisa berbulan-bulan atau tahunan dulu, menunggu budak-budak banyak dulu baru dibuang ke Indonesia"
Dari cerita Bang Ali, sedikitnya aku menjadi tahu kondisi pendatang haram di Negeri Jiran tersebut.
"Kita kalo tidak pandai-pandai di sel penampungan, bisa celakalah, kita bisa seenaknya diperlakukan, dipukuli, disuruh-suruh atau bahkan kita bisa disodomi"
"Ah! Di sodomi?", tanyaku.
Bang ali menghentikan pembicaraannya dan meneguk kopi yang ada di depannya.
"Kalo kita tidak banyak berkawan di dalam sel penampungan tersebut kita bisa mampus, di dalam sel penampungan itu bukan orang kita saja. Orang Bangladesh, Thailand, Filiphina, India, ah, banyaklah, mereka pendatang haram juga, tapi yang paling banyak adalah orang Indonesia yang asalnya juga entah dari mana saja, dari Jawa, Flores, Batak dan lainnya".
Ketertarikanku mengenai cerita sodomi tersebut meminta Bang Ali untuk menceritakannya, cerita yang berbau porno yang membangkitkan gairah sexku malam itu, nafsu haus membelai-belai laki-laki di kapal dengan udara yang dingin.
Bang Ali melanjutkan ceritanya dan aku menjadi pendengar terbaiknya malam itu.
Dua tahun berada di Malaysia sebagai tukang bangunan membuat pengalaman Bang Ali bertambah khususnya untuk sex. Di usianya yang masih tergolong remaja, di usia 17 tahun, Bang Ali diajak tetangganya untuk merantau, mengais rezeki ke Negeri Jiran tersebut. Tetangganya yang mengajarkan dan sekaligus menyodomi Bang Ali untuk pertama kalinya.
"Kang Warso, yang menyodomi Abang pertama kali, Abang waktu itu masih polos dan lugu sekali. Sebagai pembantunya Abang sering disuruh memijit badannya selepas kerja, dari pijitan badan, sampai akhirnya Kang Warso minta kontolnya dipijit juga, dikocok-kocok sampai maninya muncrat dan bukan itu saja, Abang juga ditelanjangi Kang Warso dan disodomi. Abang jadi benci sama Kang Warso, tapi lama-lama Abang sadar, ternyata sudah wajar bagi kami, orang perantauan, jauh dari anak istri, jauh dari keluarga, jauh dari tempat hiburan dan semuanya "cap lonceng", ceritanya.
Tangga mulai dirapatkan ke dermaga, sebagian penumpang mulai turun dengan berdesak-desakkan sambil membawa barang mereka, ada yang menjinjingnya di atas pundak, ada yang meletakan di atas kepala dan lain sebagainya. Yang lebih seru lagi saat penumpang yang akan naik ke kapal, begitu banyak, saling dorong dan berdesak-desakkan mendahului untuk naik ke atas kapal KM Sigulintang ini. Jepretan kamera tak habis-habisnya kuarahkan pada penumpang kapal tersebut. Dari dulu aku memang menyukai fotografi.
Suara terompet kapal yang keras terdengar beberapa kali menandakan kapal akan segera berangkat, membawa penumpang dengan tujuan Jakarta dan berakhir di Tanjung Perak, Surabaya.
Santai, menikmati pemandangan malam yang indah dengan bintang yang bertaburan, menghiasi langit yang hitam gelap, sesekali pandanganku melihat lalu lalang penumpang kapal, mencari udara segar, atau melihat pedagang yang menawarkan barang dagangannya dan mungkin dengan tujuan yang lain.
Penumpang kapal semakin banyak dari pada sebelumnya, terlihat di sepanjang anjungan kapal dipadati manusia yang karena tidak kebagian tempat di dalam sehingga mereka menempati anjungan kapal ini sebagai tempat tidur dengan menggelar tikar, mereka penumpang kapal kelas ekonomi. Begitu asyiknya dengan pemandangan yang kulihat sambil melamun sehingga tanpa aku sadari dua orang laki-laki sudah berada di sampingku.
"Mau kemana Dik?", tanya laki-laki tersebut. Aku menoleh.
"Oh, Ke Jakarta Bang", jawabku gugup karena kaget.
"Tempat siapa?", tanya laki-laki itu lagi dan naik ke pagar anjungan dan duduk di sampingku.
"Pulang ke rumah Bang"
"Oh, rumahnya di Jakarta?"
"Iya Bang, keluarga ada di sana, lagi liburan sekolah", jawabku menjelaskan.
"Kuliah?"
"Naik kelas 3 SMA, Bang"
Kami mengobrol dengan santai, sesekali tertawa kerena laki-laki tersebut sering melucu. Dengan gayanya yang sedikit kocak dan tidak terlalu kaku sehingga membuat kami menjadi akrab, dan kebosananku dengan perjalanan ini sedikit mencair. Aku memperkenalkan diri pada laki-laki tersebut.
Bang Udin, teman pria tersebut agak pendiam dibandingkan dengan temannya yang satu ini, selalu nyerocos dan sesekali mengomentari atau mengejek orang yang melewati kami. Mereka dalam perjalanan pulang ke kampung halamannya di Pati, Jawa Tengah dan akan turun di Jakarta kemudian melanjutkan perjalanan dengan Bus.
"Wah, perjalanan yang sungguh melelahkan", ucapku.
"Yah, apa boleh buat", jawab Bang Ali, pria tersebut.
Ternyata mereka adalah salah seorang TKI yang di'buang' oleh pemerintah Malaysia karena dicap sebagai Pendatang Haram di Negeri Jiran tersebut, dan kebanyakan penumpang yang naik dari Pelabuhan Sekupang, Batam adalah TKI yang akan pulang ke kampung halamannya. Pantas saja kapal jadi penuh begini, pikirku.
"Untung masih ada sisa uang untuk dibawa ke kampung, jadi tidak malu-maluin", ucap Bang Ali.
"Lagian kenapa harus kerja jauh-jauh Bang, di sini kan juga banyak kerjaan"
"Wah, di sini payah, gajinya murah", komentar Bang Ali dan menceritakan pengalamannya di Malaysia.
Sebagai tukang bangunan yang sudah berkali-kali bolak balik ke Malaysia dan membawa "hasil" yang agak lumayan saat laki-laki tersebut balik ke kampung. Keberhasilannya tersebut dapat membahagiakan orangtua dan adik-adiknya, Bang Ali bisa membeli beberapa petak sawah di kampung, membangun rumah orang tuanya, menyekolahkan adik-adiknya dan lain sebagainya. Bang Ali bertekad untuk kembali lagi ke Negeri Jiran tersebut bila situasi sudah aman.
"Kenapa tidak secara resmi saja Bang?", tanyaku.
"Wah, susah, pengurusannya lama dan berbelit-belit. Belum lagi banyak pemotongan dan sebagainya", jawab Bang Ali.
Aku mendengarkan Bang Ali menceritakan dari awal keberangkatannya saat berusia 17 tahun hingga sampai sekarang yang usianya sudah 25 tahun, dan akan menikah saat kepulangannya ini. Cerita saat dia berada di Negeri Jiran tersebut dan sebagainya, sesekali ceritanya terpotong saat aku bertanya dan laki-laki tersebut melanjutkan ceritanya kembali setelah menjawab pertanyaanku.
Bang Udin mohon diri karena telah merasa mengantuk, katanya dan malam pun semakin larut dan dingin, angin bertiup kencang dari segala penjuru dan aku merapatkan jaketku dan mengancingkannya sampai ke atas leher. Panggilan perut memaksaku untuk memberikan sesuatu ke dalamnya dan aku mengajak Bang Ali ke kantin. Laki-laki tersebut menolak dengan halus.
"Aku traktirlah", ucapku mengajaknya lagi. Aku tahu betul kondisinya yang tidak memungkinkan untuk bersenang-senang menghabiskan uang di kapal ini, sementara uang yang dibawa dari Malaysia tidak begitu banyak apalagi harga makanan di kapal ini dua kali lipat dari harga biasanya.
Kemudian kami duduk santai di kantin di kursi yang paling belakang dengan dua cangkir kopi susu dan pop mie yang sudah terhidang di atas meja kami. Aku langsung menyantap pop mie, sambil terus mendengarkan cerita Bang Ali. Volume suaranya sedikit lebih keras karena alunan suara penyanyi amatiran yang berkaraoke di kantin tersebut terdengar sangat keras. Bang Ali mengomentari suara penyanyi tersebut dengan sinis dan mengejek. Aku tertawa mendengarnya, laki-laki ini memang lucu dan mungkin sedikit sirik dengan orang lain, pikirku.
Setelah beberapa kali Bang Ali menawarkan rokok kepadaku dan akhir kuambil sebatang, menyulut ujung rokok tersebut dan mulai menikmati asapnya yang keluar dari kedua lobang hidungku. Aku bukan pecandu rokok, namun sesekali melakukannya demi pergaulan. Sementara mulut Bang Ali dari tadi terus dihinggapi sebatang rokok, selalu menyambung setelah rokok yang diisapnya tadi sudah pendek. Dari hidungnya terus menerus mengeluarkan asap seperti knalpot motor saja.
"Perokok berat juga yah Bang?", sindirku.
"Yah, beginilah, kebiasaan di kamp jadi terbawa di luaran", jawabnya.
"Sehari bisa berapa bungkus Bang?"
"Dua atau tiga bungkuslah, tergantung suasana hati"
"Wah, gila", ucapku terkejut.
"Apalagi kalo kalah main judi, Abang bisa menghabiskan sampai empat bungkus"
"Tambah gila lagi", ucapku lagi.
"Yah, bayangkan saja, kerja bertahun-tahun hanya di lokasi proyek saja, tidak boleh keluar, kalo keluar bisa tertangkap dan dimasukan ke sel sebelum dibuang. Di sel bisa berbulan-bulan atau tahunan dulu, menunggu budak-budak banyak dulu baru dibuang ke Indonesia"
Dari cerita Bang Ali, sedikitnya aku menjadi tahu kondisi pendatang haram di Negeri Jiran tersebut.
"Kita kalo tidak pandai-pandai di sel penampungan, bisa celakalah, kita bisa seenaknya diperlakukan, dipukuli, disuruh-suruh atau bahkan kita bisa disodomi"
"Ah! Di sodomi?", tanyaku.
Bang ali menghentikan pembicaraannya dan meneguk kopi yang ada di depannya.
"Kalo kita tidak banyak berkawan di dalam sel penampungan tersebut kita bisa mampus, di dalam sel penampungan itu bukan orang kita saja. Orang Bangladesh, Thailand, Filiphina, India, ah, banyaklah, mereka pendatang haram juga, tapi yang paling banyak adalah orang Indonesia yang asalnya juga entah dari mana saja, dari Jawa, Flores, Batak dan lainnya".
Ketertarikanku mengenai cerita sodomi tersebut meminta Bang Ali untuk menceritakannya, cerita yang berbau porno yang membangkitkan gairah sexku malam itu, nafsu haus membelai-belai laki-laki di kapal dengan udara yang dingin.
Bang Ali melanjutkan ceritanya dan aku menjadi pendengar terbaiknya malam itu.
Dua tahun berada di Malaysia sebagai tukang bangunan membuat pengalaman Bang Ali bertambah khususnya untuk sex. Di usianya yang masih tergolong remaja, di usia 17 tahun, Bang Ali diajak tetangganya untuk merantau, mengais rezeki ke Negeri Jiran tersebut. Tetangganya yang mengajarkan dan sekaligus menyodomi Bang Ali untuk pertama kalinya.
"Kang Warso, yang menyodomi Abang pertama kali, Abang waktu itu masih polos dan lugu sekali. Sebagai pembantunya Abang sering disuruh memijit badannya selepas kerja, dari pijitan badan, sampai akhirnya Kang Warso minta kontolnya dipijit juga, dikocok-kocok sampai maninya muncrat dan bukan itu saja, Abang juga ditelanjangi Kang Warso dan disodomi. Abang jadi benci sama Kang Warso, tapi lama-lama Abang sadar, ternyata sudah wajar bagi kami, orang perantauan, jauh dari anak istri, jauh dari keluarga, jauh dari tempat hiburan dan semuanya "cap lonceng", ceritanya.
(Bersambung)
Langganan:
Postingan (Atom)