Jumat, 06 Juli 2012
Rabu, 04 Juli 2012
Kejahatanku Part 2
Kategori:
Cerita Gay
Dengan uang satu juta yang kujanjikan, Edi kembali mengeluarkan batang kontolnya dari dalam celana, dan aku menikmatinya. Kokocok-ngocok batang kontolnya dengan mulutku, membetotnya, menikmati daging kenyal tersebut senti demi senti, menjilatinya hingga batang kontolnya basah oleh air lidahku.
Kontol Edi kembali kulumat hingga tenggelam sampai ke pangkalnya. Kugerakkan lidahku agar laki-laki tersebut merasakan hisapanku. Desahan Edi tenggelam tak terdengar sama sekali di antara suara sound system bioskop yang kencang.
Aku merasakan kalau mani Edi telah muncrat di dalam mulutku hingga tubuhnya mengejang, kakinya merenggang, menahan puncak kenikmatan yang dia rasakan. Aku menjilati batang kontolnya hingga licin, tidak ada mani yang tertetes, maninya yang kental kulahap semuanya. Akhh.. enaknya.. Aku beralih ke Anton, ingin juga merasakan kontolnya, kuremas-remas. Anton hanya diam menatapku
"Om akan memberimu satu juta", ucapku sambil mengerlingkan mata kananku.
"Keluarkan totong lo, Om rasa sudah tidak tahan mengisapnya".
Anton mengeluarkan batang kontolnya yang panjang dan diameter kontolnya tidak begitu besar. Kembali mulutku langsung mencaplok batang kontol Anton dan menarik-nariknya sesaat, lalu kukocok-kocok di dalam mulutku. Saat Edi kembali dari toilet, melihatku yang lagi asyik mengisap-isap kontol Anton, dengan tenang duduk dan menikmati film kembali.
Anton mendesah kegelian, saat batang kontolnya kujepit dengan kedua bibirku, tanganku masuk ke dalam kaosnya dan mengelus-elus dadanya, memegangi puting teteknya.
"Akhh.." desahnya.
"Enak..? Nikmat..?", tanyaku melepas kontolnya sesaat dari mulutku dan kembali kulumat lagi sampai ke pangkalnya.
"Akhh..", Anton akhirnya tidak mampu menahan kenikmatan dan kegelian yang luar biasa, mulutku terasa di semprot dengan air maninya yang banyak.
Edi dan Anton setuju ikut bersamaku kembali menghabiskan malam panjang ini bersama-sama saling bercumbu dan menikmati petualangan sex sesama lelaki, sementara Bambang hanya diam saja dengan tatapan kosong, yah laki-laki tersebut sudahh di bawah penguasaanku, di bawah kontrolku, di bawah pengaruh hipnotisku. Aku mengajak mereka ke rumahku yang berjarak ratusan kilometer dari tempat tinggal mereka. Pembantu setiaku Nano, menyambut kami.
"Anak baik", ucapku mengelus pipinya, laki-laki tersebut begitu manis, dengan usia 23 tahun, tampan, dengan badan bulat berisi, pembantu dan sekaligus merangkap istriku.
Aku mengajaknya tinggal bersamaku saat aku menemuinya di terminal bus antar kota, kebingungan sendirian dan tidak mau bertanya, mungkin malu, saat kuhampiri dan menanyakan tujuannya, dia menggelengkan kepalanya, tujuannya mencari kerja di kota tanpa sanak keluarga di sini. Aku mengajaknya tinggal bersamaku. Aku tersenyum saat melihat Nano yang terkagum-kagum melihat rumahku.., "Wah, besar, bagus, bagus sekali rumah Om ini", ucapnya.
Nano mengikutiku masuk ke dalam kamar, dan menyuruhnya untuk membersihkan tubuhnya yang bau oleh keringat, aku menunjukkan kamar mandi yang berada di dalam kamarku. Nano kembali menemuiku.
"Om, airnya habis", ucapnya polos, aku tersenyum dan menghantarkan Nano kembali ke kamar mandi tersebut. Kuputar keran yang berada di bathtub, merasakan campuran air panas dan dingin dari kedua keran yang kubuka.
"Nah, sudah ada airnya khan?", ucapku tersenyum menatap Nano yang juga tersenyum.
"Maklum wong dusun, Om", ucapnya.
"Sini, Om bantu, membuka baju kamu"
Aku membuka kaosnya yang entah sudah berapa hari tidak diganti, bau keringatnya masih terasa. Celana jeans yang dikenakannya juga aku buka.
"Akh, isin (malu) Om", ucapnya polos saat aku ingin membuka kolornya.
"Yah sudah, kamu mandi saja dulu"
"Gayungnya mana Om?", tanyanya lagi.
"Yah, endak usah pake gayung, langsung saja nyebur ke bathtub itu", ucapku sambil tersenyum.
Aku kembali lagi melihatnya yang sedang duduk di bathtub, sambil mencipratkan air ke sekujur tubuhnya. Aku tertawa kecil melihatnya, tersenyum, mendekatinya, membuka celana pendekku dan masuk ke dalam bathtub dengan bertelanjang bulat dan merangkul badannya.
"Kenapa kolornya tidak dibuka?", tanyaku sambil tersenyum.
"Isin, Om", jawabnya lagi.
"Ah, tak perlu malu", ucapku, memintanya untuk berdiri dan tanganku memerosotkan kolornya. Laki-laki tersebut malu-malu saat aku memegang kontolnya yang panjang dan masih tidur itu.
"Ah, begini khan enak, nyaman khan?", ucapku, menyuruhnya untuk duduk kembali dan menyabuni seluruh tubuhnya dengan sabun cair. Aku memberi shampoo pada rambutnya yang ikal dan sedikit panjang.
"Bagaimana? Segar kan?", tanyaku.
"Iya, Om", jawabnya malu-malu.
"Mulai sekarang, panggil saya Ayah, Nano saya anggap sebagai anak angkat, mau?", tanyaku lagi memandang wajahnya yang oval dan begitu tampan. Nano mengangguk dan beberapa kali mengucapkan terimakasih kepadaku.
Tanganku kembali mengusap-usap punggungnya, menyikatnya dengan spons, memintanya berdiri karena aku akan menyabuni kedua kakinya. Nano menurut, kedua pahanya yang sedikit besar aku sabuni, kedua pantatnya mendapat giliran, aku meremas-remas kedua pantatnya, dan pada belahan pantatnya, hem, sangat kenyal, hingga aku terangsang dan totongku bereaksi, menjadi tegang, bertambah panjang dan membesar. Saat Nano membalikkan badannya, saat itu kontolnya bereaksi bertambah besar dan panjang, aku tersenyum melihat anak tersebut yang menjadi tersipu malu. Kontolnya persis berada di depan mukaku.
"Terangsang yah", sindirku, Nano bertambah malu.
"Tidak, perlu malu, Ayah suka kok dengan kontol Nano ini", ucapku, dan langsung memegangnya, meremas-remasnya, mengocok-ngocok batang kontolnya yang panjang melebihi kontolku.
Aku semakin geram melihat batang kontolnya dan langsung kutelan, kujilati, kukocok-kocok dengan mulutku.
"Akhh.. Om", desah Nano di sela-sela keheranannya.
Aku terus mempermainkan kontolnya di mulutku. Jilatan lidahku dari ujung batangnya, dari kepala totongnya hingga ke pangkal batang kontolnya. Tubuh Nano sedikit limbung menahan kegelian, kenikmatan yang dia rasakan dan aku menyarankannya untuk duduk di sisi bathtub, dan kembali mengempot batang totongnya, menelannya, mengocok-ngocok kontolnya di dalam mulutku. Biji totongnya yang besar menggantung panjang, kutarik-tarik, sambil batang kontolnya tetap berada di dalam mulutku.
"Akhh.., aduh omm.." desah Nano.
"Enak..?", ucapku sambil tersenyum.
Nano hanya mengangguk. Kembali batang kontolnya kukocok-kocok dengan mulutku, dan mempercepat goyangan kepalaku maju mundur, agar batang kontolnya keluar masuk di dalam mulutku, sambil membetot batang kontolnya dengan kedua bibirku yang kukatupkan. Nano merasakan kegelian yang luar biasa dan aku langsung mengeluarkan batang kontolnya dari mulutku, menggenggam batang kontolnya erat yang sedang menyemburkan mani kental, sangat kental dan banyak. Aku menatapnya sambil tersenyum, melihat sisa-sisa maninya kembali keluar dari lubang kencingnya, aku langsung menjilati sisa mani tersebut hingga membuat tubuh Nano mengejang sesaat.
"Nikmat, sayang?", tanyaku.
Nano kembali mengangguk dengan malu. Aku masih meremas batang kontolnya dan berdiri, tanganku menarik batang kontolnya mengajaknya keluar dari bathtub, membalikkan tubuhnya ke arah tembok kamar mandi, meremas batang kontolku dan dengan pelan berusaha memasukan batang kontolku ke dalam lubang pantatnya. Blesszz, krkk, terdengar koyakan burit Nano saat kepala kontolku masuk ke dalam, aku menekan pantatku agar batang kontolku lebih masuk ke dalam, tidak menghiraukan jeritan Nano yang kesakitan, meminta ampun, aku terus melanjutkan permainanku, hingga batang kontolku lebih masuk ke dalam, dan kutekan pantatku kembali hingga membuat batang kontolku amblas seluruhnya di dalam pantatnya.
"Akhh.." Desahku menahan nafas, menikmati keperawanan lubang pantat Nano yang menjepit batang kontolku yang besar, perlahan aku menggerak-gerakkan pantatku.
"Aduh, Om, ampun, sakit.. Sakit..", jerit Nano. Aku terus dengan permainanku, goyangan pantatku semakin kupercepat, menyodok-nyodok lubang pantatnya..
"Hemm.. Hemm.. Akhh.. Akhh.. Akhh.." desahku tak beraturan menambah energiku untuk menyodomi anak lugu tersebut.
Kontolku terlepas dari lubang pantat Nano, dan aku menyuruh laki-laki tersebut untuk berbaring di lantai dan aku langsung menindih tubuhnya dan menyodomi buritnya kembali, rontaan Nano membuat kepuasan bagiku, kedua pahanya terbuka lebar dan aku semakin leluasa untuk menyodomi lubang pantatnya, menyodok-nyodok buritnya yang kini merekah lebar, hingga aku dapat menikmati kepuasan yang luar biasa hingga nafsuku terpenuhi.
"Akhh.." Aku terkulai lemas di samping tubuh Nano, laki-laki tersebut menangis terisak.
"Sudahlah", ucapku mengelus rambutnya.
Selesai mandi dan melampiaskan nafsuku, aku mengajak Nano makan makanan yang telah aku beli. Nano menyantap makanan tersebut dengan lahap. Dan selanjutnya pembaca bisa menebak apa yang kulakukan kembali kepada Nano, aku terus merenuk kepuasan dari anak polos tersebut berkali-kali, dan sebaliknya Nano juga aku ajarkan bagaimana cara memuaskan nafsunya dengan menyodomi buritku.
Hari-hari berikutnya, aku dan Nano kembali ngentot saling memuaskan nafsu kami berdua, di ranjang, di kamar mandi dan di mana saja di saat nafsuku memuncak bersama laki-laki tersebut. Untuk mencari variasi bersama laki-laki lain, aku keluar untuk mencarinya, menghipnotisnya, merampok uangnya, atau dengan membayar laki-laki tersebut dengan harapan nafsu sexku terpuaskan, yah seperti saat ini, aku lebih menyukai ngentot bersama laki-laki yang bukan karena pengaruh hipnotisku, karena aku bisa melampiaskan imajinasi sexku sepuasnya, menikmati kepuasan bersama-sama, saling bernafsu, saling bercumbu, saling terpuaskan, dan bersama-sama mencapai puncak kenikmatan.
Ketiga tamuku duduk dengan baik di sofa, Edi dan Anton memperhatikan rumahku dan mungkin kagum melihat isi rumahku yang komplit. Tak berapa lama kemudian aku kembali menjumpai mereka dengan memakai pakaian santai, kaos singlet dan celana pendek saja lalu duduk di antara Edi dan Anton. Nano membawakan kami beberapa krat bir dan menghidangkannya di depan, laki-laki tersebut memutarkan film yang enak ditonton, yaitu film porno homosex.
Tanganku sejak tadi sudah bermain-main di dada Edi, meremas-remasnya, menciumi lehernya sesekali. Edi merasa risih dengan kelakuanku, laki-laki tersebut menggerak-gerakkan badannya hingga cumbuanku sering menyerempet dan tidak mengenai ke sasaran. Laki-laki tersebut mungkin merasa malu atau karena belum biasa dicumbu oleh sesama laki-laki. Aku menghentikan permainanku, berdiri menarik tangan Bambang ke belakang dan kembali menemui mereka. Bambang kuperlakukan sebagai pancingan bagi Edi dan Anton agar tidak merasa malu dengan permainan yang akan kulakukan karena Bambang yang masih berada dalam hipnotisku bisa kuperintahkan untuk berbuat sekehendakku.
Sekembalinya aku menemui mereka, Bambang langsung menari-nari di depan kami dengan musik house yang di setel oleh Nano. Tarian Bambang semakin panas, laki-laki tersebut membuka kaosnya, meremas-remas kontolnya dan sesekali mengelus-elus badannya, hingga tarian Bambang terus memanas dan membuatku semakin terangsang, saat laki-laki tersebut membuka celana jeansnya bersamaan dengan kolor yang dikenakannya. Menari telanjang bulat di depan kami, Anton tertawa terbahak-bahak beberapa kali mengatakan Bambang gila dan sebagainya, Edi hanya tersenyum.
(Bersambung)
KM Sigulintang Part 2
Kategori:
Cerita Gay
"Kalo melihat perempuan seperti singa yang tidak makan satu bulan atau lebih dari itu, apalagi kalo ngentot sama lonte di sana, bayarannya sangat mahal. Kan rugi, hanya untuk membuang mani saja harus bayar mahal, yah terpaksa ngentotnya sekali-sekali saja. Yang lebih sering yah itu, kalo tidak ngocok, sodomi atau sama teman gantian ngocok-ngocok kontol. Kalo Kang Warso tidak pernah mengeluarkan uang untuk ngentot sama lonte di sana, makanya gajinya utuh untuk bini dan anak-anaknya di kampung. Laki-laki tersebut tahan tidak ngentot sama lonte, kalo mau ngentot paling nyodomi laki-laki. Kalo enggak percaya, nanti Abang tunjukan, dia pasti menyuruh si Udin memegang-megang totongnya dan si Udin itu enggak disuruhpun mau mengisap-isap kontol Kang Warso", ucap Bang Ali lagi.
"Kalo Abang?"
"Yah, Abang bisa pakai si Udin lah", ucap Bang Ali sambil tersenyum.
"Terus Abang juga pernah disodomi di sel penampungan juga?"
"Mau tahu yah?", tanya Bang Ali sambil tersenyum.
"Tidak usahlah, cerita jorok", ucap Bang Ali meneguk sisa kopi dari gelas plastiknya.
"Aku justru suka Bang. Aku pernah juga melakukannya, tidak begitu seringlah, makanya kalo aku mendengar cerita sodomi jadi terangsang, apalagi kalo bisa meremas-remas totong Abang sekalian sambil mendengarkan Abang. Kalo melihat postur Abang yang besar begini, pasti kontolnya juga besar yah?", ucapku sambil tersenyum.
Bang Ali memandangku dan tersenyum. Senyumannya yang membuat wajahnya semakin tampan, enak dilihat dengan gigi-giginya yang rapat berwarna kekuning-kuningan. Hidungnya sedikit mancung dengan rambut-rambut halus yang belum dicukur menghiasi di sekitar pipi, dagu, leher dan di atas bibirnya.
Aku memesan dua cangkir kopi lagi mungkin sebagai sogokan yah, dan Bang Ali menjadi bersemangat menceritakan saat tertangkap bersama teman-temannya di lokasi kerja, karena tidak ada paspor dan izin kerja, mereka semua digelandang ke kantor Polisi dan dimasukan ke dalam sel yang kemudian ditransfer ke sel penampungan di daerah Johor sebelum dibuang ke Indonesia. Di sel penampungan inilah Bang Ali di sodomi oleh seorang laki-laki keling, orang Bangladesh. Ajun yang senang karena Bang Ali tidak melawan dalam melakukannya lagi.
"Saat itu Abang bertugas membersihkan toilet sipir, ketika orang Bangladesh tersebut datang mendekati Abang sambil tersenyum, menarik tangan Abang ke dalam kamar kecil tersebut. Abang menolak saat orang keling itu menyuruh mengisap-isap kontolnya yang panjang dan belum sunat lagi, mana jembut-jembutnya lebat, hitam dan panjang-panjang. Orang Keling itu langsung menyodomi Abang, menciumi Abang dengan bernafsu. Abang selalu menghindar saat orang keling itu mau mencium mulut Abang dan entah berapa kali orang keling itu mengubah posisi tubuh Abang dan menyodomi lobang pantat Abang. Untung perbuatan orang keling tersebut ketahuan di saat orang keling tersebut menyodomi Abang dengan posisi menggendong tubuh Abang, dua sipir sel menyeret tubuh orang keling tersebut", ceritanya.
"Ternyata laki-laki tersebut sudah terlalu sering monyodomi laki-laki remaja. Orang keling tersebut dipukuli babak belur sampai mampus, baru tahu rasa dia. Abang dipindahkan ke kamar sel yang lain. Abang minta untuk dipindahkan ke kamar sel Kang Warso. Bersama Kang Warso, tentu saja Abang sedikit aman walau laki-laki tersebut suka nyodomi juga. Abang menolak saat Kang Warso mau menyodomi Abang, untungnya laki-laki tersebut mengerti, Abang hanya disuruh mengocok-ngocok kontolnya sampai dia puas. Pernah juga Kang Warso menyodomi Abang, katanya dia tidak tahan, yah Abang cuma diam saja. Sejak saat itu bukan Kang warso saja yang menyodomi Abang, Johanness, orang Flores yang satu sel dengan Abang juga melakukannya. Dia melihat Abang disodomi Kang Warso malam itu, yah, mau tak mau Abang mengikuti permainannya. Dia orang lama di sel tersebut, boleh dikatakan dia kepala kamar di sel tersebut", lanjutnya.
Saat Bang ali bercerita tentang sodomi tersebut, aku menjadi bergairah dan sangat bernafsu, tanganku meraba-raba kontolnya, mengelus-elusnya. Bang Ali hanya diam saja saat tanganku bereaksi dan terus melanjutkan ceritanya. Pandangan Bang Ali turun ke bawah melihat tanganku yang asyik meraba-raba kontolnya dari balik celananya, laki-laki tersebut tersenyum.
"Kamu mau?", tanya Bang Ali memandangku sambil tersenyum. Aku mengangguk dan kemudian menatapnya.
"Kalo Abang mau, kontol Abang aku isap-isap", tantangku.
"Wah, kebetulan sekali, sudah seminggu ini kontol Abang belum merasakan kenikmatan", ucap Bang Ali dan mengajakku meninggalkan Kantin.
Kami berjalan ke ujung kapal di mana rombongannya berada. Kami berjalan dengan pelan menelusuri dek tujuh di luar kapal, kapal agak oleng karena deburan ombak yang besar menghantam sisi-sisi kapal. Bang Ali merangkulkan tangannya ke pundakku, akh.. aman rasanya dalam rangkulan laki-laki berbadan besar dan tegap ini.
"Abang sodomi nanti yah?", pintanya.
"Tenang Bang, aku akan memberikan kenikmatan yang tak terlupakan di kapal Bukit Siguntang ini", ucapku tersenyum demikian juga Bang Ali.
Aku melihat rombongan Bang Ali yang tertidur dengan pulas. Aku melihat Bang Udin yang tertidur dalam kedamaian di belakang laki-laki berkumis tebal.
"Ayo, Abang sudah tidak sabar lagi", ucap Bang Ali. Aku sedikit terkejut karena asyik memperhatikan Bang Udin.
"Iya, ayo", jawabku gugup lagi.
"Lihat ini", ajak Bang Ali yang langsung berjongkok di hadapan Kang Warso dan mengangkat sarung laki-laki tersebut. Dengan penerangan lampu yang samar-samar, aku melihat Pak Warso tidak memakai kolor, telanjang, sementara tangan Bang Udin memegang batang kontol Pak Warso yang besar dan panjang tersebut.
Bang Ali mengajakku meninggalkan tempat tersebut, tangannya merangkul pundakku kembali dan kami memasuki kamar mandi dek enam, kamar mandi khusus untuk kelas dua, aku yang mengajaknya, kamarku pun tak begitu jauh dari toilet tersebut.
Kami memasuki kamar mandi yang paling ujung dan langsung mengunci pintunya. Bang ali membuka pakaiannya satu persatu, menelanjangi pakaiannya demikian juga aku. Bang ali memperhatikan tubuhku yang telanjang, hingga tak sabar saat melihat tubuhku yang putih dan bersih tersebut dan membantuku membuka celana jeans yang kukenakan.
Kami sudah sama-sama dalam keadaan telanjang bulat, Bang Ali langsung memeluk tubuhku, mendorong badanku ke pintu dan memepetnya. Dengan sangat bernafsu Bang ali menciumi bibirku, mencumbuinya, melumat habis bibirku, aku membalas cumbuannya dengan bergairah dan sangat bernafsu sekali, ada rasa geli saat bulu-bulu halus di wajah Bang Ali menyentuh mukaku. Tanganku yang dari tadi gatal untuk meremas-remas kontolnya, langsung kutarik. Totongnya begitu besar dan panjang, persis seperti dugaanku. Aku menarik-narik batang kontolnya, mengocok-ngocoknya pelan, Bang Ali semakin bernafsu mencumbuiku. Aku menarik biji totong Bang Ali, menggenggam bersamaan batang kontolnya dan kutarik-tarik.
"Lagi.. Lagi..", ucap Bang Ali di selingi dengan suara desahannya.
Bang Ali melumat bibirku lagi, memasukkan lidahnya ke dalam mulutku, aku melayani permainannya.
"Akhh..", desah Bang ali lagi, sejenak menghentikan permainannya, menatapku.
"Kamu sudang sangat ahli melakukannya, membuat Abang bertambah semangat dan sangat bernafsu. Ayo sayang, buat Abang merasa senang, perlakukan Abang seperti suamimu atau lebih dari itu".
Aku menciumi dadanya yang bidang dan berbulu, menjilati puting teteknya, mengisap-isapnya dan sesekali kutarik dengan mengatupkan bibirku pada ujung puting teteknya yang berwarna coklat tersebut. Inchi demi inchi tubuh Bang Ali aku jilati, sampai pada perutnya yang berotot dan ditutupi bulu-bulu yang lebat di sekitar pusarnya, hingga jilatan bibirku sampai pada jembut-jembut kemaluannya, aku terus membasahi jembut-jembut laki-laki tersebut dengan air lidahku, Bang Ali mengelus-elus rambutku.
Jilatanku semakin turun dan kini merasakan daging kenyal laki-laki tersebut. Aku sangat menikmati batang kontol Bang ali yang begitu besar dan panjang. Tak sabar merasakan kelezatan daging kenyal Bang Ali, aku langsung menelan batang kontolnya, mulutku merasakan daging kenyal Bang Ali, akhh.. begitu besar, panjang dan membengkok ke samping. Batang kontol Bang Ali semakin mengeras saat kedua bibirku membetot daging besar tersebut, perlahan aku mengeluarkannya hingga sampai ujung batas antara kepala dan batangnya.
Aku merasakan kepala kontol Bang Ali semakin membesar dan padat saja di dalam mulutku, perlahan aku mengeluarkannya, tanganku terus memegang batang kontolnya dengan erat. Kepala kontol Bang Ali aku jilati, lubang kencingnya terbuka lebar, aku menariknya, merekahkannya sehingga lubang kencing kontol Bang Ali semakin terlihat dan menjilati lubang tersebut.
"Akhh.. Desah Bang ali keenakan dan menekan kontolnya kembali ke dalam mulutku.
Aku menelan kontol Bang Ali, merasakan urat-urat batangnya semakin membesar, kedua bibirku merapat hingga ujung gigi taringku merasakan kekenyalan batang kontolnya dan aku semakin menekannya.
"Ooh.. Akkhh..", desah Bang Ali semakin kuat terdengar.
Batang kontol Bang Ali berdenyut-denyut di dalam mulutku, sambil mengelus-elus kedua pahanya yang berbulu lebat, aku terus menikmati kekenyalan batang totongnya.
Perlahan aku menelan batang kontol Bang Ali, memasukkannya senti demi senti ke dalam mulutku hingga kontol Bang Ali tenggelam seluruhnya di dalam mulutku dan merasakan ujung kontolnya memasuki tenggorokanku. Mulutku menjadi penuh dengan kontolnya. Pangkal totongnya lebih besar dari pada batang tengahnya dan ditumbuhi jembut-jembut yang jarang, panjang dan ikal. Sedikit demi sedikit aku mengeluarkan batang kontolnya dengan terus merapatkan lidahku ke arah batang kontolnya, agar aku dapat menikmati kekenyalan dan kekerasan batang totong tersebut.
(Bersambung)
"Kalo Abang?"
"Yah, Abang bisa pakai si Udin lah", ucap Bang Ali sambil tersenyum.
"Terus Abang juga pernah disodomi di sel penampungan juga?"
"Mau tahu yah?", tanya Bang Ali sambil tersenyum.
"Tidak usahlah, cerita jorok", ucap Bang Ali meneguk sisa kopi dari gelas plastiknya.
"Aku justru suka Bang. Aku pernah juga melakukannya, tidak begitu seringlah, makanya kalo aku mendengar cerita sodomi jadi terangsang, apalagi kalo bisa meremas-remas totong Abang sekalian sambil mendengarkan Abang. Kalo melihat postur Abang yang besar begini, pasti kontolnya juga besar yah?", ucapku sambil tersenyum.
Bang Ali memandangku dan tersenyum. Senyumannya yang membuat wajahnya semakin tampan, enak dilihat dengan gigi-giginya yang rapat berwarna kekuning-kuningan. Hidungnya sedikit mancung dengan rambut-rambut halus yang belum dicukur menghiasi di sekitar pipi, dagu, leher dan di atas bibirnya.
Aku memesan dua cangkir kopi lagi mungkin sebagai sogokan yah, dan Bang Ali menjadi bersemangat menceritakan saat tertangkap bersama teman-temannya di lokasi kerja, karena tidak ada paspor dan izin kerja, mereka semua digelandang ke kantor Polisi dan dimasukan ke dalam sel yang kemudian ditransfer ke sel penampungan di daerah Johor sebelum dibuang ke Indonesia. Di sel penampungan inilah Bang Ali di sodomi oleh seorang laki-laki keling, orang Bangladesh. Ajun yang senang karena Bang Ali tidak melawan dalam melakukannya lagi.
"Saat itu Abang bertugas membersihkan toilet sipir, ketika orang Bangladesh tersebut datang mendekati Abang sambil tersenyum, menarik tangan Abang ke dalam kamar kecil tersebut. Abang menolak saat orang keling itu menyuruh mengisap-isap kontolnya yang panjang dan belum sunat lagi, mana jembut-jembutnya lebat, hitam dan panjang-panjang. Orang Keling itu langsung menyodomi Abang, menciumi Abang dengan bernafsu. Abang selalu menghindar saat orang keling itu mau mencium mulut Abang dan entah berapa kali orang keling itu mengubah posisi tubuh Abang dan menyodomi lobang pantat Abang. Untung perbuatan orang keling tersebut ketahuan di saat orang keling tersebut menyodomi Abang dengan posisi menggendong tubuh Abang, dua sipir sel menyeret tubuh orang keling tersebut", ceritanya.
"Ternyata laki-laki tersebut sudah terlalu sering monyodomi laki-laki remaja. Orang keling tersebut dipukuli babak belur sampai mampus, baru tahu rasa dia. Abang dipindahkan ke kamar sel yang lain. Abang minta untuk dipindahkan ke kamar sel Kang Warso. Bersama Kang Warso, tentu saja Abang sedikit aman walau laki-laki tersebut suka nyodomi juga. Abang menolak saat Kang Warso mau menyodomi Abang, untungnya laki-laki tersebut mengerti, Abang hanya disuruh mengocok-ngocok kontolnya sampai dia puas. Pernah juga Kang Warso menyodomi Abang, katanya dia tidak tahan, yah Abang cuma diam saja. Sejak saat itu bukan Kang warso saja yang menyodomi Abang, Johanness, orang Flores yang satu sel dengan Abang juga melakukannya. Dia melihat Abang disodomi Kang Warso malam itu, yah, mau tak mau Abang mengikuti permainannya. Dia orang lama di sel tersebut, boleh dikatakan dia kepala kamar di sel tersebut", lanjutnya.
Saat Bang ali bercerita tentang sodomi tersebut, aku menjadi bergairah dan sangat bernafsu, tanganku meraba-raba kontolnya, mengelus-elusnya. Bang Ali hanya diam saja saat tanganku bereaksi dan terus melanjutkan ceritanya. Pandangan Bang Ali turun ke bawah melihat tanganku yang asyik meraba-raba kontolnya dari balik celananya, laki-laki tersebut tersenyum.
"Kamu mau?", tanya Bang Ali memandangku sambil tersenyum. Aku mengangguk dan kemudian menatapnya.
"Kalo Abang mau, kontol Abang aku isap-isap", tantangku.
"Wah, kebetulan sekali, sudah seminggu ini kontol Abang belum merasakan kenikmatan", ucap Bang Ali dan mengajakku meninggalkan Kantin.
Kami berjalan ke ujung kapal di mana rombongannya berada. Kami berjalan dengan pelan menelusuri dek tujuh di luar kapal, kapal agak oleng karena deburan ombak yang besar menghantam sisi-sisi kapal. Bang Ali merangkulkan tangannya ke pundakku, akh.. aman rasanya dalam rangkulan laki-laki berbadan besar dan tegap ini.
"Abang sodomi nanti yah?", pintanya.
"Tenang Bang, aku akan memberikan kenikmatan yang tak terlupakan di kapal Bukit Siguntang ini", ucapku tersenyum demikian juga Bang Ali.
Aku melihat rombongan Bang Ali yang tertidur dengan pulas. Aku melihat Bang Udin yang tertidur dalam kedamaian di belakang laki-laki berkumis tebal.
"Ayo, Abang sudah tidak sabar lagi", ucap Bang Ali. Aku sedikit terkejut karena asyik memperhatikan Bang Udin.
"Iya, ayo", jawabku gugup lagi.
"Lihat ini", ajak Bang Ali yang langsung berjongkok di hadapan Kang Warso dan mengangkat sarung laki-laki tersebut. Dengan penerangan lampu yang samar-samar, aku melihat Pak Warso tidak memakai kolor, telanjang, sementara tangan Bang Udin memegang batang kontol Pak Warso yang besar dan panjang tersebut.
Bang Ali mengajakku meninggalkan tempat tersebut, tangannya merangkul pundakku kembali dan kami memasuki kamar mandi dek enam, kamar mandi khusus untuk kelas dua, aku yang mengajaknya, kamarku pun tak begitu jauh dari toilet tersebut.
Kami memasuki kamar mandi yang paling ujung dan langsung mengunci pintunya. Bang ali membuka pakaiannya satu persatu, menelanjangi pakaiannya demikian juga aku. Bang ali memperhatikan tubuhku yang telanjang, hingga tak sabar saat melihat tubuhku yang putih dan bersih tersebut dan membantuku membuka celana jeans yang kukenakan.
Kami sudah sama-sama dalam keadaan telanjang bulat, Bang Ali langsung memeluk tubuhku, mendorong badanku ke pintu dan memepetnya. Dengan sangat bernafsu Bang ali menciumi bibirku, mencumbuinya, melumat habis bibirku, aku membalas cumbuannya dengan bergairah dan sangat bernafsu sekali, ada rasa geli saat bulu-bulu halus di wajah Bang Ali menyentuh mukaku. Tanganku yang dari tadi gatal untuk meremas-remas kontolnya, langsung kutarik. Totongnya begitu besar dan panjang, persis seperti dugaanku. Aku menarik-narik batang kontolnya, mengocok-ngocoknya pelan, Bang Ali semakin bernafsu mencumbuiku. Aku menarik biji totong Bang Ali, menggenggam bersamaan batang kontolnya dan kutarik-tarik.
"Lagi.. Lagi..", ucap Bang Ali di selingi dengan suara desahannya.
Bang Ali melumat bibirku lagi, memasukkan lidahnya ke dalam mulutku, aku melayani permainannya.
"Akhh..", desah Bang ali lagi, sejenak menghentikan permainannya, menatapku.
"Kamu sudang sangat ahli melakukannya, membuat Abang bertambah semangat dan sangat bernafsu. Ayo sayang, buat Abang merasa senang, perlakukan Abang seperti suamimu atau lebih dari itu".
Aku menciumi dadanya yang bidang dan berbulu, menjilati puting teteknya, mengisap-isapnya dan sesekali kutarik dengan mengatupkan bibirku pada ujung puting teteknya yang berwarna coklat tersebut. Inchi demi inchi tubuh Bang Ali aku jilati, sampai pada perutnya yang berotot dan ditutupi bulu-bulu yang lebat di sekitar pusarnya, hingga jilatan bibirku sampai pada jembut-jembut kemaluannya, aku terus membasahi jembut-jembut laki-laki tersebut dengan air lidahku, Bang Ali mengelus-elus rambutku.
Jilatanku semakin turun dan kini merasakan daging kenyal laki-laki tersebut. Aku sangat menikmati batang kontol Bang ali yang begitu besar dan panjang. Tak sabar merasakan kelezatan daging kenyal Bang Ali, aku langsung menelan batang kontolnya, mulutku merasakan daging kenyal Bang Ali, akhh.. begitu besar, panjang dan membengkok ke samping. Batang kontol Bang Ali semakin mengeras saat kedua bibirku membetot daging besar tersebut, perlahan aku mengeluarkannya hingga sampai ujung batas antara kepala dan batangnya.
Aku merasakan kepala kontol Bang Ali semakin membesar dan padat saja di dalam mulutku, perlahan aku mengeluarkannya, tanganku terus memegang batang kontolnya dengan erat. Kepala kontol Bang Ali aku jilati, lubang kencingnya terbuka lebar, aku menariknya, merekahkannya sehingga lubang kencing kontol Bang Ali semakin terlihat dan menjilati lubang tersebut.
"Akhh.. Desah Bang ali keenakan dan menekan kontolnya kembali ke dalam mulutku.
Aku menelan kontol Bang Ali, merasakan urat-urat batangnya semakin membesar, kedua bibirku merapat hingga ujung gigi taringku merasakan kekenyalan batang kontolnya dan aku semakin menekannya.
"Ooh.. Akkhh..", desah Bang Ali semakin kuat terdengar.
Batang kontol Bang Ali berdenyut-denyut di dalam mulutku, sambil mengelus-elus kedua pahanya yang berbulu lebat, aku terus menikmati kekenyalan batang totongnya.
Perlahan aku menelan batang kontol Bang Ali, memasukkannya senti demi senti ke dalam mulutku hingga kontol Bang Ali tenggelam seluruhnya di dalam mulutku dan merasakan ujung kontolnya memasuki tenggorokanku. Mulutku menjadi penuh dengan kontolnya. Pangkal totongnya lebih besar dari pada batang tengahnya dan ditumbuhi jembut-jembut yang jarang, panjang dan ikal. Sedikit demi sedikit aku mengeluarkan batang kontolnya dengan terus merapatkan lidahku ke arah batang kontolnya, agar aku dapat menikmati kekenyalan dan kekerasan batang totong tersebut.
(Bersambung)
Minggu, 01 Juli 2012
Kejahatanku Part 1
Kategori:
Cerita Gay
Kupandangi wajahku di cermin sekali lagi, menatap wajah yang tampan, klimis dengan potongan rambut yang tidak begitu pendek dan berminyak, memegang pipi dan daguku yang halus tanpa sehelai rambutpun, aku telah mencukurnya tadi siang.
Ini saatnya untuk bersenang-senang. Mengendarai mobil Panther berwarna hitam, mobil kesukaanku, mobil yang bersejarah dan banyak kenangan.
Mobil kuparkir dengan baik, menghidupkan alarm sebelum memasuki pintu utara Mall. Salah satu mall yang terbesar di kota ini. Aku jarang ke tempat ini, namun aku ingat di mana posisi ATM berada. Ada beberapa ATM dari beberapa bank di tempat tersebut dan banyak antrian rupanya. Aku melihat pajangan etalase yang berada di sebelah kiri, tak berapa jauh letaknya dari ATM tersebut, sambil mengamati orang-orang yang melewatiku, menunggu, menunggu orang yang cocok untuk kujadikan korbanku malam ini.
Akhirnya, target utamaku kelihatan. Seorang laki-laki bertubuh sedang dan proposional dengan tingginya, berkumis tebal, hitam dan ikal, membuat laki-laki tersebut bertambah tampan dan berwibawa, dengan rambut yang ikal, rapi dan rambut putihnya sedikit kelihatan di sebelah kiri dan kanan agak menutupi kedua telinganya. Pakaian dan sepatu yang dikenakannya menunjukan bahwa laki-laki tersebut adalah orang yang mapan hidupnya, mungkin pengusaha atau seorang pegawai dengan jabatan yang sangat bagus di perusahaan tempat dia bekerja.
Aku ikut antri di belakang laki-laki tersebut, sambil memegang kartu ATM kepunyaanku.
"Antriannya lumayan juga yah Pak", ucapku berbasa-basi.
"Maklum bulan muda, yah", jawabnya.
"Mengajak keluarga jalan-jalan di bulan muda ini memang menyenangkan yah", aku memulai mengajaknya mengobrol kembali.
"Begitulah Mas, kapan lagi kita bisa menyenangkan orang rumah yang setiap hari di rumah, kita ajak sekali-kali biar tidak bosan dia, yah refreshinglah".
"Keluarga ada di mana Pak?", tanyaku sambil memukul pundaknya.
"Sebelah sana, di counter pakaian, mau pilih-pilih baju katanya", laki-laki tersebut menjawab pertanyaanku.
"Bagaimana kalo kita mengobrol dulu, saya ada bisnis yang sangat bagus dan mungkin Bapak tertarik", bisikku tak jauh dari telinganya sambil menepuk sisi pundaknya yang lain.
Laki-laki tersebut mengikutiku dengan spontan, keluar dari antrian. Aku berjalan menuju tangga darurat yang terletak bersebelahan dengan toilet dan menaiki anak tangga tersebut satu persatu. Di belakang, laki-laki tersebut terus mengikutiku, dan kami sudah berada di lantai 2 mall tersebut. Memasuki kamar toilet pria yang paling ujung, langsung kututup dan kukunci pintu kamar toilet setelah laki-laki tersebut berada di dalam.
Laki-laki tersebut hanya diam saja dengan tatapan kosong, dan aku mulai menjamah celananya, merogoh kantong bagian belakang, mengambil dompet dan membukanya. Uang ratusan ribu ada di dalamnya, dengan jumlah yang cukup lumayan, kuambil kartu kredit dan tiga kartu ATM dari bank yang berlainan. Aku tersenyum membaca nama yang tertera pada kartu-kartu tersebut. Suryo Widodo. Yah, betul dugaanku, laki-laki ini potensial untuk dijadikan korban, korban kejahatanku, korban hipnotisku. Mudah bagiku untuk mengetahui berapa banyak uang yang dimiliki laki-laki tersebut di ketiga kartu ATM-nya dan nomor PIN-nya juga.
Aku keluar dari kamar toilet setelah membisikan perintah kepada Pak Suryo dan 10 menit kemudian aku kembali, melihat laki-laki tersebut masih menatapku dengan tatapan kosongnya. Aku memeluk Pak Suryo, mencium bibirnya dengan lembut, tanganku menyentuh kontol laki-laki tersebut dan meremas-remasnya, akh.. lumayan besar, saat aku merasakan kontol laki-laki tersebut.
"Ayo, kita lihat berapa besar kontolmu Sayang", ucapku sambil mencium bibir laki-laki tersebut kembali dan berjongkok melepaskan gesper yang dia kenakan dan celana panjang dan kolornya aku perosoti sebatas paha. Akhh, kulihat kontolnya yang besar, hitam dengan jembut-jembut yang lebat, hitam dan ikal.
"Aku akan melakukannya dengan cepat, yah dengan cepat Sayang..", ucapku memandangnya sambil terus meremas-remas kontol Pak Suryo.
Kontol laki-laki tersebut mulai bereaksi bertambah besar dan memanjang, aku langsung menyambutnya dengan mulutku, aku mengisap-isap batang kontol laki-laki tersebut, menikmatinya, hemm.. enak.. kenyal.. Aku terus mengocok batang kontol Pak Suryo di dalam mulutku..
"Akhh..", desahku. Pak Suryo hanya diam dengan tatapan semula saat aku menghipnotisnya.
Aku berdiri, membalikkan tubuh laki-laki tersebut menghadap tembok, meremas-remas pantatnya yang berbulu, kontolku yang sudah tegang, besar dan panjang keluar dari balik resleting dan perlahan aku menancapkan kontolku ke dalam lubang pantat Pak Suryo.
"Jangan mendesah atau menjerit, saya tidak mau mendengar suara Bapak di tempat ini", bisikku.
Aku memuaskan nafsuku, mengentot lubang pantat Pak Surto, menekan pantatku dengan pelan, agar batang kontolku masuk lebih dalam lagi. Aku mendesah merasakan sempitnya burit Pak Suryo, lubang pantat yang masih perawan. Krakk.., bunyi robekan Burit Pak Suryo tidak kuhiraukan, aku terus memuaskan nafsuku, menyodomi lubang pantatnya, menggerakan pantatku dengan cepat, sehingga batang kontolku masuk dan keluar.
Aku mendesah pelan, merasakan jepitan lubang pantat Pak suryo yang semakin terasa membetot batang kontolku, gerakan pantatku kupercepat untuk mengakhiri permainanku, dan akhirnya puncak kenikmatan kurasakan, menarik tubuh Pak suryo, memeluknya erat.. Aku mendesah melepaskan maniku ke dalam lubang pantatnya.
Kurapikan pakaianku dan pakaian Pak Suryo sambil mencium bibir laki-laki tersebut dengan pelan dan mendekatkan mulutku ke telinganya dan berbisik.
"Kamu tidak akan mengingat pertemuan dengan saya dan tidak ingat dengan kejadian ini, dan akan sadar saat merasakan sakit setelah keesokan harinya. Bersikaplah tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan memang tidak ada yang terjadi. Temui keluarga, dan terimakasih atas uang dan kenikmataan yang kamu berikan kepada Saya. Selamat tinggal sayang", ucapku sambil mengelus pipinya, tersenyum melihat laki-laki tersebut yang berjalan meninggalkan kamar toilet. Uang senilai 15 juta dari ketiga kartu ATM-nya sudah berada di tanganku, dan aku telah memasukan 1 juta rupiah ke dalam dompetnya.
Aku mengendarai mobil Pantherku meninggalkan mall tersebut, memasuki jalan tol, menuju utara mencari tempat keramaian dan memikat laki-laki muda untuk bercinta, ngentot bersama. Aku meminggirkan mobil, saat melihat beberapa laki-laki duduk di depan pool billyard dan memanggil mereka. Seorang laki-laki berbadan besar datang dan menghampiriku..
"Ada apa Om?", tanyanya.
"Mau ikut?", tanyaku langsung mengajaknya. Laki-laki itu memandangku dengan heran.
"Ayolah", ajakku lagi.
"Kemana Om?"
"Yah, kemana saja, ke discotique, ke twenty one, atau ke mana sajalah, dari pada duduk bengong, ajak teman elo kalo mau".
Laki-laki tersebut berteriak mengajak dua orang temannya. Mobil kembali kukemudikan dengan perlahan setelah tiga laki-laki tersebut naik. Sambil mengobrol basa-basi kutanyakan nama dan latar belakang mereka dan ternyata mereka masih menganggur.
"Baru tamat sekolah Om", jawab Edi, laki-laki yang menghampiriku dan sekarang duduk di sebelahku.
"Masa sih, baru tamat?", tanyaku bercanda.
"Betul Om, suer! Kalo Bambang tahun kemarin tamatnya", jawab Edi.
Aku melihat Bambang dari kaca spion, laki-laki berbadan tinggi dengan jenggot tipis dan lebat menghiasi dagunya. Akh.. Ketiga laki-laki ini tampan-tampan ternyata, pikirku sambil tersenyum.
"Kita ke twenty one saja yah", ajakku.
"Ah, kemana saja OK-lah Om, menghilangkan suntuk", ucap Anton.
"Bagaimana dengan elo, Ed?", tanyaku pada laki-laki berhidung mancung dengan kulitnya yang sedikit gelap tersebut.
"Akh, terserahlah Om, yang penting happy", jawabnya sambil tersenyum.
Aku tersenyum melihatnya, merangkul pundaknya yang keras.. Akhh.. Sebentar lagi nafsuku akan terpuaskan oleh anak ini, pikirku.
"Elo, orang arab?", tanyaku.
"Ah, enggak Om, orang Indonesia asli, Bapak orang ambon, Ibu orang Jawa", jawab Edi.
"Kalo kami sih memang sering memanggilnya Arab, Om", jawab Anton lagi dari belakang.
"Kalo Om lihat kalian ini pasti sering ke lokasi, sering ngentot yah?", tanyaku.
"Sekali-kalilah Om, kalo ada uang", jawab edi.
"Kalo tidak ada uang paling maen sama bencong", Bambang nyeletuk dari belakang.
"Wah, suka maen sama bencong juga yah", ucapku tersenyum.
Tanganku menyentuh totong Edi, meremasnya sesaat, Edi terkejut juga.
"Yah, betul, elo sudah pengen ngentot", ucapku. Edi hanya tersenyum.
Di dalam bioskop, aku duduk di samping Edi, menanti pemutaran film, mengobrol sejenak, dan sangat akrab, aku melingkarkan tanganku ke pundaknya, hingga saat lampu di matikan dan film di mulai. Tak sabar tanganku menyentuh kontolnya lagi.
"Om?", tanya Edi.
"Sstt", ucapku memberi isyarat agar dia diam. Edi sedikit memberontak.
"Tenanglah, Om hanya mau bersenang-senang sebentar dan Om akan kasih imbalan ke elo".
Edi agak santai sekarang, tanganku mulai meremas-remas kontolnya yang menjadi bereaksi. Tak puas dengan meremas-remas kontolnya dari balik celana, aku menyuruh Edi mengeluarkannya. Edi membuka resleting celananya dan mengeluarkan batang kontolnya yang begitu besar dan panjang saat aku memegangnya.
"Besar dan Panjang yah", bisikku.
"Kontol Ambon Om", bisik Edi lagi sambil tersenyum.
Aku terus meremas-remasnya sambil mengocok-ngocok batang kontolnya yang besar dan panjang tersebut, hingga tak peduli lagi pada kedua temannya yang duduk di sampingku juga, aku langsung melumat kontol Edi, mulutku membetol batang kenyal tersebut, sambil menggesek-gesekan gigiku ke batang totongnya.
"Akhh.. Om, Om..", ucap Edi sedikit meronta.
"Om, jangan", ucapnya.
Aku sadar dan kembali dengan posisi dudukku, Anton yang duduk di sebelahku melihat dengan keheranan, aku tersenyum melihatnya
"Akh.. Om bernafsu sekali melihat batang kontol Edi", ucapku sambil tersenyum. Lalu Bambang berdiri, menarik tangan Anton.
"Ayo kita pulang".
Laki-laki tersebut memandangku dengan tatapan tajam, yah tatapan yang tidak menyukaiku. Dengan tiba-tiba tangannya langsung menarik bajuku, sementara tangannya yang lain bersiap untuk mendarat ke mukaku. Aku langsung memegang tangannya yang mengepal tersebut, menahannya.
"Tenang, tenang..", ucapku.
"Saya bisa membayar kalian 1 juta, kalo kalian mau", ucapku lagi.
"Kami bukan homo, Om", ucap Anton.
"Yah, tapi kalian pernah ngentot dengan bencong khan? Dan kali ini saya yang akan membayar kalian", ucapku pelan, agak malu karena suara ribut kami, penonton agak terganggu.
Aku mendekati Bambang yang mulai kembali duduk dan menepuk kedua pundaknya..
"Sebaiknya kamu duduk tenang dan diam", bisikku dan kembali duduk di samping Edi. Laki-laki tersebut menatapku dengan pandangan kosong.
"Saya akan memberi imbalan satu juta dan memuaskanmu, kita akan sama-sama puas", ucapku lagi merayunya. Edi tampak sedikit tenang, permainan aku lanjutkan, meremas-remas kontolnya kembali yang telah dimasukannya kembali ke dalam celananya dan mengancingkan resletingnya.
Ini saatnya untuk bersenang-senang. Mengendarai mobil Panther berwarna hitam, mobil kesukaanku, mobil yang bersejarah dan banyak kenangan.
Mobil kuparkir dengan baik, menghidupkan alarm sebelum memasuki pintu utara Mall. Salah satu mall yang terbesar di kota ini. Aku jarang ke tempat ini, namun aku ingat di mana posisi ATM berada. Ada beberapa ATM dari beberapa bank di tempat tersebut dan banyak antrian rupanya. Aku melihat pajangan etalase yang berada di sebelah kiri, tak berapa jauh letaknya dari ATM tersebut, sambil mengamati orang-orang yang melewatiku, menunggu, menunggu orang yang cocok untuk kujadikan korbanku malam ini.
Akhirnya, target utamaku kelihatan. Seorang laki-laki bertubuh sedang dan proposional dengan tingginya, berkumis tebal, hitam dan ikal, membuat laki-laki tersebut bertambah tampan dan berwibawa, dengan rambut yang ikal, rapi dan rambut putihnya sedikit kelihatan di sebelah kiri dan kanan agak menutupi kedua telinganya. Pakaian dan sepatu yang dikenakannya menunjukan bahwa laki-laki tersebut adalah orang yang mapan hidupnya, mungkin pengusaha atau seorang pegawai dengan jabatan yang sangat bagus di perusahaan tempat dia bekerja.
Aku ikut antri di belakang laki-laki tersebut, sambil memegang kartu ATM kepunyaanku.
"Antriannya lumayan juga yah Pak", ucapku berbasa-basi.
"Maklum bulan muda, yah", jawabnya.
"Mengajak keluarga jalan-jalan di bulan muda ini memang menyenangkan yah", aku memulai mengajaknya mengobrol kembali.
"Begitulah Mas, kapan lagi kita bisa menyenangkan orang rumah yang setiap hari di rumah, kita ajak sekali-kali biar tidak bosan dia, yah refreshinglah".
"Keluarga ada di mana Pak?", tanyaku sambil memukul pundaknya.
"Sebelah sana, di counter pakaian, mau pilih-pilih baju katanya", laki-laki tersebut menjawab pertanyaanku.
"Bagaimana kalo kita mengobrol dulu, saya ada bisnis yang sangat bagus dan mungkin Bapak tertarik", bisikku tak jauh dari telinganya sambil menepuk sisi pundaknya yang lain.
Laki-laki tersebut mengikutiku dengan spontan, keluar dari antrian. Aku berjalan menuju tangga darurat yang terletak bersebelahan dengan toilet dan menaiki anak tangga tersebut satu persatu. Di belakang, laki-laki tersebut terus mengikutiku, dan kami sudah berada di lantai 2 mall tersebut. Memasuki kamar toilet pria yang paling ujung, langsung kututup dan kukunci pintu kamar toilet setelah laki-laki tersebut berada di dalam.
Laki-laki tersebut hanya diam saja dengan tatapan kosong, dan aku mulai menjamah celananya, merogoh kantong bagian belakang, mengambil dompet dan membukanya. Uang ratusan ribu ada di dalamnya, dengan jumlah yang cukup lumayan, kuambil kartu kredit dan tiga kartu ATM dari bank yang berlainan. Aku tersenyum membaca nama yang tertera pada kartu-kartu tersebut. Suryo Widodo. Yah, betul dugaanku, laki-laki ini potensial untuk dijadikan korban, korban kejahatanku, korban hipnotisku. Mudah bagiku untuk mengetahui berapa banyak uang yang dimiliki laki-laki tersebut di ketiga kartu ATM-nya dan nomor PIN-nya juga.
Aku keluar dari kamar toilet setelah membisikan perintah kepada Pak Suryo dan 10 menit kemudian aku kembali, melihat laki-laki tersebut masih menatapku dengan tatapan kosongnya. Aku memeluk Pak Suryo, mencium bibirnya dengan lembut, tanganku menyentuh kontol laki-laki tersebut dan meremas-remasnya, akh.. lumayan besar, saat aku merasakan kontol laki-laki tersebut.
"Ayo, kita lihat berapa besar kontolmu Sayang", ucapku sambil mencium bibir laki-laki tersebut kembali dan berjongkok melepaskan gesper yang dia kenakan dan celana panjang dan kolornya aku perosoti sebatas paha. Akhh, kulihat kontolnya yang besar, hitam dengan jembut-jembut yang lebat, hitam dan ikal.
"Aku akan melakukannya dengan cepat, yah dengan cepat Sayang..", ucapku memandangnya sambil terus meremas-remas kontol Pak Suryo.
Kontol laki-laki tersebut mulai bereaksi bertambah besar dan memanjang, aku langsung menyambutnya dengan mulutku, aku mengisap-isap batang kontol laki-laki tersebut, menikmatinya, hemm.. enak.. kenyal.. Aku terus mengocok batang kontol Pak Suryo di dalam mulutku..
"Akhh..", desahku. Pak Suryo hanya diam dengan tatapan semula saat aku menghipnotisnya.
Aku berdiri, membalikkan tubuh laki-laki tersebut menghadap tembok, meremas-remas pantatnya yang berbulu, kontolku yang sudah tegang, besar dan panjang keluar dari balik resleting dan perlahan aku menancapkan kontolku ke dalam lubang pantat Pak Suryo.
"Jangan mendesah atau menjerit, saya tidak mau mendengar suara Bapak di tempat ini", bisikku.
Aku memuaskan nafsuku, mengentot lubang pantat Pak Surto, menekan pantatku dengan pelan, agar batang kontolku masuk lebih dalam lagi. Aku mendesah merasakan sempitnya burit Pak Suryo, lubang pantat yang masih perawan. Krakk.., bunyi robekan Burit Pak Suryo tidak kuhiraukan, aku terus memuaskan nafsuku, menyodomi lubang pantatnya, menggerakan pantatku dengan cepat, sehingga batang kontolku masuk dan keluar.
Aku mendesah pelan, merasakan jepitan lubang pantat Pak suryo yang semakin terasa membetot batang kontolku, gerakan pantatku kupercepat untuk mengakhiri permainanku, dan akhirnya puncak kenikmatan kurasakan, menarik tubuh Pak suryo, memeluknya erat.. Aku mendesah melepaskan maniku ke dalam lubang pantatnya.
Kurapikan pakaianku dan pakaian Pak Suryo sambil mencium bibir laki-laki tersebut dengan pelan dan mendekatkan mulutku ke telinganya dan berbisik.
"Kamu tidak akan mengingat pertemuan dengan saya dan tidak ingat dengan kejadian ini, dan akan sadar saat merasakan sakit setelah keesokan harinya. Bersikaplah tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan memang tidak ada yang terjadi. Temui keluarga, dan terimakasih atas uang dan kenikmataan yang kamu berikan kepada Saya. Selamat tinggal sayang", ucapku sambil mengelus pipinya, tersenyum melihat laki-laki tersebut yang berjalan meninggalkan kamar toilet. Uang senilai 15 juta dari ketiga kartu ATM-nya sudah berada di tanganku, dan aku telah memasukan 1 juta rupiah ke dalam dompetnya.
Aku mengendarai mobil Pantherku meninggalkan mall tersebut, memasuki jalan tol, menuju utara mencari tempat keramaian dan memikat laki-laki muda untuk bercinta, ngentot bersama. Aku meminggirkan mobil, saat melihat beberapa laki-laki duduk di depan pool billyard dan memanggil mereka. Seorang laki-laki berbadan besar datang dan menghampiriku..
"Ada apa Om?", tanyanya.
"Mau ikut?", tanyaku langsung mengajaknya. Laki-laki itu memandangku dengan heran.
"Ayolah", ajakku lagi.
"Kemana Om?"
"Yah, kemana saja, ke discotique, ke twenty one, atau ke mana sajalah, dari pada duduk bengong, ajak teman elo kalo mau".
Laki-laki tersebut berteriak mengajak dua orang temannya. Mobil kembali kukemudikan dengan perlahan setelah tiga laki-laki tersebut naik. Sambil mengobrol basa-basi kutanyakan nama dan latar belakang mereka dan ternyata mereka masih menganggur.
"Baru tamat sekolah Om", jawab Edi, laki-laki yang menghampiriku dan sekarang duduk di sebelahku.
"Masa sih, baru tamat?", tanyaku bercanda.
"Betul Om, suer! Kalo Bambang tahun kemarin tamatnya", jawab Edi.
Aku melihat Bambang dari kaca spion, laki-laki berbadan tinggi dengan jenggot tipis dan lebat menghiasi dagunya. Akh.. Ketiga laki-laki ini tampan-tampan ternyata, pikirku sambil tersenyum.
"Kita ke twenty one saja yah", ajakku.
"Ah, kemana saja OK-lah Om, menghilangkan suntuk", ucap Anton.
"Bagaimana dengan elo, Ed?", tanyaku pada laki-laki berhidung mancung dengan kulitnya yang sedikit gelap tersebut.
"Akh, terserahlah Om, yang penting happy", jawabnya sambil tersenyum.
Aku tersenyum melihatnya, merangkul pundaknya yang keras.. Akhh.. Sebentar lagi nafsuku akan terpuaskan oleh anak ini, pikirku.
"Elo, orang arab?", tanyaku.
"Ah, enggak Om, orang Indonesia asli, Bapak orang ambon, Ibu orang Jawa", jawab Edi.
"Kalo kami sih memang sering memanggilnya Arab, Om", jawab Anton lagi dari belakang.
"Kalo Om lihat kalian ini pasti sering ke lokasi, sering ngentot yah?", tanyaku.
"Sekali-kalilah Om, kalo ada uang", jawab edi.
"Kalo tidak ada uang paling maen sama bencong", Bambang nyeletuk dari belakang.
"Wah, suka maen sama bencong juga yah", ucapku tersenyum.
Tanganku menyentuh totong Edi, meremasnya sesaat, Edi terkejut juga.
"Yah, betul, elo sudah pengen ngentot", ucapku. Edi hanya tersenyum.
Di dalam bioskop, aku duduk di samping Edi, menanti pemutaran film, mengobrol sejenak, dan sangat akrab, aku melingkarkan tanganku ke pundaknya, hingga saat lampu di matikan dan film di mulai. Tak sabar tanganku menyentuh kontolnya lagi.
"Om?", tanya Edi.
"Sstt", ucapku memberi isyarat agar dia diam. Edi sedikit memberontak.
"Tenanglah, Om hanya mau bersenang-senang sebentar dan Om akan kasih imbalan ke elo".
Edi agak santai sekarang, tanganku mulai meremas-remas kontolnya yang menjadi bereaksi. Tak puas dengan meremas-remas kontolnya dari balik celana, aku menyuruh Edi mengeluarkannya. Edi membuka resleting celananya dan mengeluarkan batang kontolnya yang begitu besar dan panjang saat aku memegangnya.
"Besar dan Panjang yah", bisikku.
"Kontol Ambon Om", bisik Edi lagi sambil tersenyum.
Aku terus meremas-remasnya sambil mengocok-ngocok batang kontolnya yang besar dan panjang tersebut, hingga tak peduli lagi pada kedua temannya yang duduk di sampingku juga, aku langsung melumat kontol Edi, mulutku membetol batang kenyal tersebut, sambil menggesek-gesekan gigiku ke batang totongnya.
"Akhh.. Om, Om..", ucap Edi sedikit meronta.
"Om, jangan", ucapnya.
Aku sadar dan kembali dengan posisi dudukku, Anton yang duduk di sebelahku melihat dengan keheranan, aku tersenyum melihatnya
"Akh.. Om bernafsu sekali melihat batang kontol Edi", ucapku sambil tersenyum. Lalu Bambang berdiri, menarik tangan Anton.
"Ayo kita pulang".
Laki-laki tersebut memandangku dengan tatapan tajam, yah tatapan yang tidak menyukaiku. Dengan tiba-tiba tangannya langsung menarik bajuku, sementara tangannya yang lain bersiap untuk mendarat ke mukaku. Aku langsung memegang tangannya yang mengepal tersebut, menahannya.
"Tenang, tenang..", ucapku.
"Saya bisa membayar kalian 1 juta, kalo kalian mau", ucapku lagi.
"Kami bukan homo, Om", ucap Anton.
"Yah, tapi kalian pernah ngentot dengan bencong khan? Dan kali ini saya yang akan membayar kalian", ucapku pelan, agak malu karena suara ribut kami, penonton agak terganggu.
Aku mendekati Bambang yang mulai kembali duduk dan menepuk kedua pundaknya..
"Sebaiknya kamu duduk tenang dan diam", bisikku dan kembali duduk di samping Edi. Laki-laki tersebut menatapku dengan pandangan kosong.
"Saya akan memberi imbalan satu juta dan memuaskanmu, kita akan sama-sama puas", ucapku lagi merayunya. Edi tampak sedikit tenang, permainan aku lanjutkan, meremas-remas kontolnya kembali yang telah dimasukannya kembali ke dalam celananya dan mengancingkan resletingnya.
(Bersambung)
KM Sigulintang Part 1
Kategori:
Cerita Gay
Perjalanan ini membuatku bosan, di sekelilingku hanya laut yang terlihat dan dua hari satu malam lagi perjalananku akan berakhir, membawaku bertemu dengan Papa dan Mama tercinta. Aku berdiri di dek kapal, memperhatikan kapal yang akan sandar di Pelabuhan Sekupang, Batam.
Tangga mulai dirapatkan ke dermaga, sebagian penumpang mulai turun dengan berdesak-desakkan sambil membawa barang mereka, ada yang menjinjingnya di atas pundak, ada yang meletakan di atas kepala dan lain sebagainya. Yang lebih seru lagi saat penumpang yang akan naik ke kapal, begitu banyak, saling dorong dan berdesak-desakkan mendahului untuk naik ke atas kapal KM Sigulintang ini. Jepretan kamera tak habis-habisnya kuarahkan pada penumpang kapal tersebut. Dari dulu aku memang menyukai fotografi.
Suara terompet kapal yang keras terdengar beberapa kali menandakan kapal akan segera berangkat, membawa penumpang dengan tujuan Jakarta dan berakhir di Tanjung Perak, Surabaya.
Santai, menikmati pemandangan malam yang indah dengan bintang yang bertaburan, menghiasi langit yang hitam gelap, sesekali pandanganku melihat lalu lalang penumpang kapal, mencari udara segar, atau melihat pedagang yang menawarkan barang dagangannya dan mungkin dengan tujuan yang lain.
Penumpang kapal semakin banyak dari pada sebelumnya, terlihat di sepanjang anjungan kapal dipadati manusia yang karena tidak kebagian tempat di dalam sehingga mereka menempati anjungan kapal ini sebagai tempat tidur dengan menggelar tikar, mereka penumpang kapal kelas ekonomi. Begitu asyiknya dengan pemandangan yang kulihat sambil melamun sehingga tanpa aku sadari dua orang laki-laki sudah berada di sampingku.
"Mau kemana Dik?", tanya laki-laki tersebut. Aku menoleh.
"Oh, Ke Jakarta Bang", jawabku gugup karena kaget.
"Tempat siapa?", tanya laki-laki itu lagi dan naik ke pagar anjungan dan duduk di sampingku.
"Pulang ke rumah Bang"
"Oh, rumahnya di Jakarta?"
"Iya Bang, keluarga ada di sana, lagi liburan sekolah", jawabku menjelaskan.
"Kuliah?"
"Naik kelas 3 SMA, Bang"
Kami mengobrol dengan santai, sesekali tertawa kerena laki-laki tersebut sering melucu. Dengan gayanya yang sedikit kocak dan tidak terlalu kaku sehingga membuat kami menjadi akrab, dan kebosananku dengan perjalanan ini sedikit mencair. Aku memperkenalkan diri pada laki-laki tersebut.
Bang Udin, teman pria tersebut agak pendiam dibandingkan dengan temannya yang satu ini, selalu nyerocos dan sesekali mengomentari atau mengejek orang yang melewati kami. Mereka dalam perjalanan pulang ke kampung halamannya di Pati, Jawa Tengah dan akan turun di Jakarta kemudian melanjutkan perjalanan dengan Bus.
"Wah, perjalanan yang sungguh melelahkan", ucapku.
"Yah, apa boleh buat", jawab Bang Ali, pria tersebut.
Ternyata mereka adalah salah seorang TKI yang di'buang' oleh pemerintah Malaysia karena dicap sebagai Pendatang Haram di Negeri Jiran tersebut, dan kebanyakan penumpang yang naik dari Pelabuhan Sekupang, Batam adalah TKI yang akan pulang ke kampung halamannya. Pantas saja kapal jadi penuh begini, pikirku.
"Untung masih ada sisa uang untuk dibawa ke kampung, jadi tidak malu-maluin", ucap Bang Ali.
"Lagian kenapa harus kerja jauh-jauh Bang, di sini kan juga banyak kerjaan"
"Wah, di sini payah, gajinya murah", komentar Bang Ali dan menceritakan pengalamannya di Malaysia.
Sebagai tukang bangunan yang sudah berkali-kali bolak balik ke Malaysia dan membawa "hasil" yang agak lumayan saat laki-laki tersebut balik ke kampung. Keberhasilannya tersebut dapat membahagiakan orangtua dan adik-adiknya, Bang Ali bisa membeli beberapa petak sawah di kampung, membangun rumah orang tuanya, menyekolahkan adik-adiknya dan lain sebagainya. Bang Ali bertekad untuk kembali lagi ke Negeri Jiran tersebut bila situasi sudah aman.
"Kenapa tidak secara resmi saja Bang?", tanyaku.
"Wah, susah, pengurusannya lama dan berbelit-belit. Belum lagi banyak pemotongan dan sebagainya", jawab Bang Ali.
Aku mendengarkan Bang Ali menceritakan dari awal keberangkatannya saat berusia 17 tahun hingga sampai sekarang yang usianya sudah 25 tahun, dan akan menikah saat kepulangannya ini. Cerita saat dia berada di Negeri Jiran tersebut dan sebagainya, sesekali ceritanya terpotong saat aku bertanya dan laki-laki tersebut melanjutkan ceritanya kembali setelah menjawab pertanyaanku.
Bang Udin mohon diri karena telah merasa mengantuk, katanya dan malam pun semakin larut dan dingin, angin bertiup kencang dari segala penjuru dan aku merapatkan jaketku dan mengancingkannya sampai ke atas leher. Panggilan perut memaksaku untuk memberikan sesuatu ke dalamnya dan aku mengajak Bang Ali ke kantin. Laki-laki tersebut menolak dengan halus.
"Aku traktirlah", ucapku mengajaknya lagi. Aku tahu betul kondisinya yang tidak memungkinkan untuk bersenang-senang menghabiskan uang di kapal ini, sementara uang yang dibawa dari Malaysia tidak begitu banyak apalagi harga makanan di kapal ini dua kali lipat dari harga biasanya.
Kemudian kami duduk santai di kantin di kursi yang paling belakang dengan dua cangkir kopi susu dan pop mie yang sudah terhidang di atas meja kami. Aku langsung menyantap pop mie, sambil terus mendengarkan cerita Bang Ali. Volume suaranya sedikit lebih keras karena alunan suara penyanyi amatiran yang berkaraoke di kantin tersebut terdengar sangat keras. Bang Ali mengomentari suara penyanyi tersebut dengan sinis dan mengejek. Aku tertawa mendengarnya, laki-laki ini memang lucu dan mungkin sedikit sirik dengan orang lain, pikirku.
Setelah beberapa kali Bang Ali menawarkan rokok kepadaku dan akhir kuambil sebatang, menyulut ujung rokok tersebut dan mulai menikmati asapnya yang keluar dari kedua lobang hidungku. Aku bukan pecandu rokok, namun sesekali melakukannya demi pergaulan. Sementara mulut Bang Ali dari tadi terus dihinggapi sebatang rokok, selalu menyambung setelah rokok yang diisapnya tadi sudah pendek. Dari hidungnya terus menerus mengeluarkan asap seperti knalpot motor saja.
"Perokok berat juga yah Bang?", sindirku.
"Yah, beginilah, kebiasaan di kamp jadi terbawa di luaran", jawabnya.
"Sehari bisa berapa bungkus Bang?"
"Dua atau tiga bungkuslah, tergantung suasana hati"
"Wah, gila", ucapku terkejut.
"Apalagi kalo kalah main judi, Abang bisa menghabiskan sampai empat bungkus"
"Tambah gila lagi", ucapku lagi.
"Yah, bayangkan saja, kerja bertahun-tahun hanya di lokasi proyek saja, tidak boleh keluar, kalo keluar bisa tertangkap dan dimasukan ke sel sebelum dibuang. Di sel bisa berbulan-bulan atau tahunan dulu, menunggu budak-budak banyak dulu baru dibuang ke Indonesia"
Dari cerita Bang Ali, sedikitnya aku menjadi tahu kondisi pendatang haram di Negeri Jiran tersebut.
"Kita kalo tidak pandai-pandai di sel penampungan, bisa celakalah, kita bisa seenaknya diperlakukan, dipukuli, disuruh-suruh atau bahkan kita bisa disodomi"
"Ah! Di sodomi?", tanyaku.
Bang ali menghentikan pembicaraannya dan meneguk kopi yang ada di depannya.
"Kalo kita tidak banyak berkawan di dalam sel penampungan tersebut kita bisa mampus, di dalam sel penampungan itu bukan orang kita saja. Orang Bangladesh, Thailand, Filiphina, India, ah, banyaklah, mereka pendatang haram juga, tapi yang paling banyak adalah orang Indonesia yang asalnya juga entah dari mana saja, dari Jawa, Flores, Batak dan lainnya".
Ketertarikanku mengenai cerita sodomi tersebut meminta Bang Ali untuk menceritakannya, cerita yang berbau porno yang membangkitkan gairah sexku malam itu, nafsu haus membelai-belai laki-laki di kapal dengan udara yang dingin.
Bang Ali melanjutkan ceritanya dan aku menjadi pendengar terbaiknya malam itu.
Dua tahun berada di Malaysia sebagai tukang bangunan membuat pengalaman Bang Ali bertambah khususnya untuk sex. Di usianya yang masih tergolong remaja, di usia 17 tahun, Bang Ali diajak tetangganya untuk merantau, mengais rezeki ke Negeri Jiran tersebut. Tetangganya yang mengajarkan dan sekaligus menyodomi Bang Ali untuk pertama kalinya.
"Kang Warso, yang menyodomi Abang pertama kali, Abang waktu itu masih polos dan lugu sekali. Sebagai pembantunya Abang sering disuruh memijit badannya selepas kerja, dari pijitan badan, sampai akhirnya Kang Warso minta kontolnya dipijit juga, dikocok-kocok sampai maninya muncrat dan bukan itu saja, Abang juga ditelanjangi Kang Warso dan disodomi. Abang jadi benci sama Kang Warso, tapi lama-lama Abang sadar, ternyata sudah wajar bagi kami, orang perantauan, jauh dari anak istri, jauh dari keluarga, jauh dari tempat hiburan dan semuanya "cap lonceng", ceritanya.
Tangga mulai dirapatkan ke dermaga, sebagian penumpang mulai turun dengan berdesak-desakkan sambil membawa barang mereka, ada yang menjinjingnya di atas pundak, ada yang meletakan di atas kepala dan lain sebagainya. Yang lebih seru lagi saat penumpang yang akan naik ke kapal, begitu banyak, saling dorong dan berdesak-desakkan mendahului untuk naik ke atas kapal KM Sigulintang ini. Jepretan kamera tak habis-habisnya kuarahkan pada penumpang kapal tersebut. Dari dulu aku memang menyukai fotografi.
Suara terompet kapal yang keras terdengar beberapa kali menandakan kapal akan segera berangkat, membawa penumpang dengan tujuan Jakarta dan berakhir di Tanjung Perak, Surabaya.
Santai, menikmati pemandangan malam yang indah dengan bintang yang bertaburan, menghiasi langit yang hitam gelap, sesekali pandanganku melihat lalu lalang penumpang kapal, mencari udara segar, atau melihat pedagang yang menawarkan barang dagangannya dan mungkin dengan tujuan yang lain.
Penumpang kapal semakin banyak dari pada sebelumnya, terlihat di sepanjang anjungan kapal dipadati manusia yang karena tidak kebagian tempat di dalam sehingga mereka menempati anjungan kapal ini sebagai tempat tidur dengan menggelar tikar, mereka penumpang kapal kelas ekonomi. Begitu asyiknya dengan pemandangan yang kulihat sambil melamun sehingga tanpa aku sadari dua orang laki-laki sudah berada di sampingku.
"Mau kemana Dik?", tanya laki-laki tersebut. Aku menoleh.
"Oh, Ke Jakarta Bang", jawabku gugup karena kaget.
"Tempat siapa?", tanya laki-laki itu lagi dan naik ke pagar anjungan dan duduk di sampingku.
"Pulang ke rumah Bang"
"Oh, rumahnya di Jakarta?"
"Iya Bang, keluarga ada di sana, lagi liburan sekolah", jawabku menjelaskan.
"Kuliah?"
"Naik kelas 3 SMA, Bang"
Kami mengobrol dengan santai, sesekali tertawa kerena laki-laki tersebut sering melucu. Dengan gayanya yang sedikit kocak dan tidak terlalu kaku sehingga membuat kami menjadi akrab, dan kebosananku dengan perjalanan ini sedikit mencair. Aku memperkenalkan diri pada laki-laki tersebut.
Bang Udin, teman pria tersebut agak pendiam dibandingkan dengan temannya yang satu ini, selalu nyerocos dan sesekali mengomentari atau mengejek orang yang melewati kami. Mereka dalam perjalanan pulang ke kampung halamannya di Pati, Jawa Tengah dan akan turun di Jakarta kemudian melanjutkan perjalanan dengan Bus.
"Wah, perjalanan yang sungguh melelahkan", ucapku.
"Yah, apa boleh buat", jawab Bang Ali, pria tersebut.
Ternyata mereka adalah salah seorang TKI yang di'buang' oleh pemerintah Malaysia karena dicap sebagai Pendatang Haram di Negeri Jiran tersebut, dan kebanyakan penumpang yang naik dari Pelabuhan Sekupang, Batam adalah TKI yang akan pulang ke kampung halamannya. Pantas saja kapal jadi penuh begini, pikirku.
"Untung masih ada sisa uang untuk dibawa ke kampung, jadi tidak malu-maluin", ucap Bang Ali.
"Lagian kenapa harus kerja jauh-jauh Bang, di sini kan juga banyak kerjaan"
"Wah, di sini payah, gajinya murah", komentar Bang Ali dan menceritakan pengalamannya di Malaysia.
Sebagai tukang bangunan yang sudah berkali-kali bolak balik ke Malaysia dan membawa "hasil" yang agak lumayan saat laki-laki tersebut balik ke kampung. Keberhasilannya tersebut dapat membahagiakan orangtua dan adik-adiknya, Bang Ali bisa membeli beberapa petak sawah di kampung, membangun rumah orang tuanya, menyekolahkan adik-adiknya dan lain sebagainya. Bang Ali bertekad untuk kembali lagi ke Negeri Jiran tersebut bila situasi sudah aman.
"Kenapa tidak secara resmi saja Bang?", tanyaku.
"Wah, susah, pengurusannya lama dan berbelit-belit. Belum lagi banyak pemotongan dan sebagainya", jawab Bang Ali.
Aku mendengarkan Bang Ali menceritakan dari awal keberangkatannya saat berusia 17 tahun hingga sampai sekarang yang usianya sudah 25 tahun, dan akan menikah saat kepulangannya ini. Cerita saat dia berada di Negeri Jiran tersebut dan sebagainya, sesekali ceritanya terpotong saat aku bertanya dan laki-laki tersebut melanjutkan ceritanya kembali setelah menjawab pertanyaanku.
Bang Udin mohon diri karena telah merasa mengantuk, katanya dan malam pun semakin larut dan dingin, angin bertiup kencang dari segala penjuru dan aku merapatkan jaketku dan mengancingkannya sampai ke atas leher. Panggilan perut memaksaku untuk memberikan sesuatu ke dalamnya dan aku mengajak Bang Ali ke kantin. Laki-laki tersebut menolak dengan halus.
"Aku traktirlah", ucapku mengajaknya lagi. Aku tahu betul kondisinya yang tidak memungkinkan untuk bersenang-senang menghabiskan uang di kapal ini, sementara uang yang dibawa dari Malaysia tidak begitu banyak apalagi harga makanan di kapal ini dua kali lipat dari harga biasanya.
Kemudian kami duduk santai di kantin di kursi yang paling belakang dengan dua cangkir kopi susu dan pop mie yang sudah terhidang di atas meja kami. Aku langsung menyantap pop mie, sambil terus mendengarkan cerita Bang Ali. Volume suaranya sedikit lebih keras karena alunan suara penyanyi amatiran yang berkaraoke di kantin tersebut terdengar sangat keras. Bang Ali mengomentari suara penyanyi tersebut dengan sinis dan mengejek. Aku tertawa mendengarnya, laki-laki ini memang lucu dan mungkin sedikit sirik dengan orang lain, pikirku.
Setelah beberapa kali Bang Ali menawarkan rokok kepadaku dan akhir kuambil sebatang, menyulut ujung rokok tersebut dan mulai menikmati asapnya yang keluar dari kedua lobang hidungku. Aku bukan pecandu rokok, namun sesekali melakukannya demi pergaulan. Sementara mulut Bang Ali dari tadi terus dihinggapi sebatang rokok, selalu menyambung setelah rokok yang diisapnya tadi sudah pendek. Dari hidungnya terus menerus mengeluarkan asap seperti knalpot motor saja.
"Perokok berat juga yah Bang?", sindirku.
"Yah, beginilah, kebiasaan di kamp jadi terbawa di luaran", jawabnya.
"Sehari bisa berapa bungkus Bang?"
"Dua atau tiga bungkuslah, tergantung suasana hati"
"Wah, gila", ucapku terkejut.
"Apalagi kalo kalah main judi, Abang bisa menghabiskan sampai empat bungkus"
"Tambah gila lagi", ucapku lagi.
"Yah, bayangkan saja, kerja bertahun-tahun hanya di lokasi proyek saja, tidak boleh keluar, kalo keluar bisa tertangkap dan dimasukan ke sel sebelum dibuang. Di sel bisa berbulan-bulan atau tahunan dulu, menunggu budak-budak banyak dulu baru dibuang ke Indonesia"
Dari cerita Bang Ali, sedikitnya aku menjadi tahu kondisi pendatang haram di Negeri Jiran tersebut.
"Kita kalo tidak pandai-pandai di sel penampungan, bisa celakalah, kita bisa seenaknya diperlakukan, dipukuli, disuruh-suruh atau bahkan kita bisa disodomi"
"Ah! Di sodomi?", tanyaku.
Bang ali menghentikan pembicaraannya dan meneguk kopi yang ada di depannya.
"Kalo kita tidak banyak berkawan di dalam sel penampungan tersebut kita bisa mampus, di dalam sel penampungan itu bukan orang kita saja. Orang Bangladesh, Thailand, Filiphina, India, ah, banyaklah, mereka pendatang haram juga, tapi yang paling banyak adalah orang Indonesia yang asalnya juga entah dari mana saja, dari Jawa, Flores, Batak dan lainnya".
Ketertarikanku mengenai cerita sodomi tersebut meminta Bang Ali untuk menceritakannya, cerita yang berbau porno yang membangkitkan gairah sexku malam itu, nafsu haus membelai-belai laki-laki di kapal dengan udara yang dingin.
Bang Ali melanjutkan ceritanya dan aku menjadi pendengar terbaiknya malam itu.
Dua tahun berada di Malaysia sebagai tukang bangunan membuat pengalaman Bang Ali bertambah khususnya untuk sex. Di usianya yang masih tergolong remaja, di usia 17 tahun, Bang Ali diajak tetangganya untuk merantau, mengais rezeki ke Negeri Jiran tersebut. Tetangganya yang mengajarkan dan sekaligus menyodomi Bang Ali untuk pertama kalinya.
"Kang Warso, yang menyodomi Abang pertama kali, Abang waktu itu masih polos dan lugu sekali. Sebagai pembantunya Abang sering disuruh memijit badannya selepas kerja, dari pijitan badan, sampai akhirnya Kang Warso minta kontolnya dipijit juga, dikocok-kocok sampai maninya muncrat dan bukan itu saja, Abang juga ditelanjangi Kang Warso dan disodomi. Abang jadi benci sama Kang Warso, tapi lama-lama Abang sadar, ternyata sudah wajar bagi kami, orang perantauan, jauh dari anak istri, jauh dari keluarga, jauh dari tempat hiburan dan semuanya "cap lonceng", ceritanya.
(Bersambung)
Jumat, 29 Juni 2012
Minggu, 06 Mei 2012
Pengakuan Pemerkosa Part 2
Kategori:
Cerita Gay
...itu, menyodorkan penis kami untuk diisap. Setelah beberapa menit, Jakaria dan Soni berganti posisi. Soni kini memperkosa mulut si Jangkung, dan Jakaria kebagian si Pendek. Kedua cowok itu sama sekali tidak berusaha lagi untuk melepaskan diri. Mereka tetap mengikuti perintah-perintah untuk membuka mulut lebih lebar untuk diludahi atau mengisap penis lebih kuat
Jakaria muncul ide barunya, katanya: "Gua belum pernah ngerasain lubang pantat cowok." Saya pikir apa-apaan mau menjilat lubang pantat orang, Tapi ternyata saya salah tanggap. Diangkatnya kaki dan pinggul si Pendek kemudian diludahkannya dahak ke lubang pantatnya. Kemudian dimasukkannya jari telunjuknya ke dalam lubang pantat si Pendek sampai habis, lalu diganti dengan jempol, dimainkan masuk keluar. Sang cowok meringis kesakitan, tapi disambut dengan "Ini belum apa-apa." Dimasukkannya jari telunjuk dan jari tengahnya sekaligus ke dubur si Pendek, masuk keluar sambil diputar-putar. Setelah beberapa lama, ia berkata: "Sekarang lu udah siap." Kami disuruh memegangi si Pendek erat-erat pada posisi telentang dengan kedua kaki tertekuk ke kepala.
Ia kemudian mengarahkan penisnya ke lubang pantat si Pendek dan didorong dengan kuat sekaligus. Saya yang ikut memegangi, melihat dengan jelas bagaimana penisnya menghilang ke dalam lubang pantat si Pendek sampai habis. Sang cowok memberontak sekuat tenaga sambil memohon ampun, tapi tak berdaya dipegangi empat orang. Jakaria kemudian memulai irama masuk-keluarnya, sambil bergumam: "Gile, cowok ini sempit amat." Tangan Jakaria masih sempat mengocok pelir si Pendek yang ngaceng dengan kerasnya. Soni kemudian meminta bantuan kami memegangi si Jangkung untuk diperkosa juga duburnya.
Mendengar lolongan temannya, si Jangkung menjadi kecut. Dia memohon-mohon agar lubang pantatnya tidak digagahi, dan menawarkan bahwa dia akan mengisap kami bergantian sampai kami puas. Kata Soni: "Lu bakalan ngisep kita sampai puas dan tetap saja kita pakai lubang pantat lu." Tidak berapa lama kemudian, penis Soni sudah menerobos masuk-keluar di lubang pantat si Jangkung. Tangan Soni meremas-remas buah pelir si Jangkung sambil sekali sekali mengocok batang pelirnya. Cowok ini tidak bersuara, bibirnya digigit kuat-kuat sampai berdarah sambil melempar mukanya ke kiri dan ke kanan menahan sakit. Mengikuti contoh Jakaria, Soni kemudian berpindah bolak-balik dari mulut ke dubur, kemudian langsung ke mulut sang cowok untuk dibersihkan, lalu kembali lagi ke dubur.
Tidak puas dengan itu, mereka kemudian menggunakan jurus 'kutu loncat', dari dubur cowok satu pindah ke mulut cowok yang lain. Mereka pun akhirnya bertukar pasangan, sehingga masing-masing berhasil mencicipi keempat lubang tubuh kedua cowok tersebut. Mereka berdua kemudian memilih untuk mengeluarkan air maninya di dalam dubur kedua cowok itu. Atas ide Jakaria, mereka berdua tidak langsung mencabut penisnya. Setelah berkonsentrasi beberapa saat, mereka berdua kencing di dalam dubur si Jangkung dan si Pendek! Penis mereka yang berlendir bercampur kencing, tai dan darah, mereka sodorkan ke cowok yang lainnya untuk diisap dan dijilat sampai bersih.
Sesudah Soni dan Jakaria selesai, kami berlima pun 'berpesta' dengan kedua korban sampai puas. Soni dan Jakaria pun kemudian bergabung lagi untuk ronde kedua. Di saat ini masing-masing cowok dimanfaatkan secara maksimum: kedua lubang mereka diisi penuh pada saat bersamaan. Seorang dari kami telentang di lantai, kemudian seorang cowok didudukkan di atasnya, dan penisnya menerobos duburnya. Si cowok kemudian dibaringkan telentang di atas si laki-laki. Laki-laki kedua mengangkat kepala si cowok dengan menjambaknya dan kemudian mendorong penisnya ke dalam tenggorokannya. Setelah beberapa saat, posisinya diputar: yang di dubur pindah ke mulut. Kami pun pindah dari satu cowok ke cowok lainnya. Sesudah kira-kira dua jam, kami pun sudah tak mampu lagi, dan bersiap-siap meninggalkan tempat itu. Tapi sebelum pergi, si Jakaria punya ide lainlagi. Ia berjongkok di atas kepala si Jangkung yang sedang telentang tak berdaya.
Kami pun mengajaknya untuk pergi: "Mau apa lagi, lu!" Tiba-tiba dia memencet hidung sang cowok, dan begitu mulutnya terbuka, ia langsung berak ke dalam mulut si Jangkung. Lalu diambilnya rambut si Jangkung untuk dipakai menggosok dan membersihkan lubang pantatnya. Melihat itu, Soni pun tidak mau ketinggalan. Dikangkanginya si Pendek dan diperintahkannya untuk membuka mulut. Tahu akan diapakan, si Pendek meronta-ronta, tetapi setelah puting susunya dipencet dengan keras, tidak berani melawan lagi. Dia pun membuka mulutnya lebar-lebar, dan saya melihat sendiri tai Soni bergulung di mulutnya. Soni memaksanya untuk menelan semua tai itu.
Si Pendek karena ketakutan, berusaha melahap semuanya tetapi mengalami kesulitan karena kotoran itu terlalu kental dan pekat. Terpaksa kami pun beramai-ramai menyumbangkan kencing ke mulut si Pendek untuk membantunya menelan seluruh tai Soni. Akhirnya kami meninggalkan kedua cowok itu telanjang bulat di emperan toko. Pakaian mereka kami ambil dan kami bagi-bagi di antara kami sebagai 'souvenir'. Saya cuma kebagian satu jaket yang beremblem salah satu SMA swasta di Jakarta. Setelah beristirahat di rumah, kami pun mendiskusikan rencana menyerbu rumah di seberang kali yang ada 3 anak cowoknya.
(Tamat)
Jakaria muncul ide barunya, katanya: "Gua belum pernah ngerasain lubang pantat cowok." Saya pikir apa-apaan mau menjilat lubang pantat orang, Tapi ternyata saya salah tanggap. Diangkatnya kaki dan pinggul si Pendek kemudian diludahkannya dahak ke lubang pantatnya. Kemudian dimasukkannya jari telunjuknya ke dalam lubang pantat si Pendek sampai habis, lalu diganti dengan jempol, dimainkan masuk keluar. Sang cowok meringis kesakitan, tapi disambut dengan "Ini belum apa-apa." Dimasukkannya jari telunjuk dan jari tengahnya sekaligus ke dubur si Pendek, masuk keluar sambil diputar-putar. Setelah beberapa lama, ia berkata: "Sekarang lu udah siap." Kami disuruh memegangi si Pendek erat-erat pada posisi telentang dengan kedua kaki tertekuk ke kepala.
Ia kemudian mengarahkan penisnya ke lubang pantat si Pendek dan didorong dengan kuat sekaligus. Saya yang ikut memegangi, melihat dengan jelas bagaimana penisnya menghilang ke dalam lubang pantat si Pendek sampai habis. Sang cowok memberontak sekuat tenaga sambil memohon ampun, tapi tak berdaya dipegangi empat orang. Jakaria kemudian memulai irama masuk-keluarnya, sambil bergumam: "Gile, cowok ini sempit amat." Tangan Jakaria masih sempat mengocok pelir si Pendek yang ngaceng dengan kerasnya. Soni kemudian meminta bantuan kami memegangi si Jangkung untuk diperkosa juga duburnya.
Mendengar lolongan temannya, si Jangkung menjadi kecut. Dia memohon-mohon agar lubang pantatnya tidak digagahi, dan menawarkan bahwa dia akan mengisap kami bergantian sampai kami puas. Kata Soni: "Lu bakalan ngisep kita sampai puas dan tetap saja kita pakai lubang pantat lu." Tidak berapa lama kemudian, penis Soni sudah menerobos masuk-keluar di lubang pantat si Jangkung. Tangan Soni meremas-remas buah pelir si Jangkung sambil sekali sekali mengocok batang pelirnya. Cowok ini tidak bersuara, bibirnya digigit kuat-kuat sampai berdarah sambil melempar mukanya ke kiri dan ke kanan menahan sakit. Mengikuti contoh Jakaria, Soni kemudian berpindah bolak-balik dari mulut ke dubur, kemudian langsung ke mulut sang cowok untuk dibersihkan, lalu kembali lagi ke dubur.
Tidak puas dengan itu, mereka kemudian menggunakan jurus 'kutu loncat', dari dubur cowok satu pindah ke mulut cowok yang lain. Mereka pun akhirnya bertukar pasangan, sehingga masing-masing berhasil mencicipi keempat lubang tubuh kedua cowok tersebut. Mereka berdua kemudian memilih untuk mengeluarkan air maninya di dalam dubur kedua cowok itu. Atas ide Jakaria, mereka berdua tidak langsung mencabut penisnya. Setelah berkonsentrasi beberapa saat, mereka berdua kencing di dalam dubur si Jangkung dan si Pendek! Penis mereka yang berlendir bercampur kencing, tai dan darah, mereka sodorkan ke cowok yang lainnya untuk diisap dan dijilat sampai bersih.
Sesudah Soni dan Jakaria selesai, kami berlima pun 'berpesta' dengan kedua korban sampai puas. Soni dan Jakaria pun kemudian bergabung lagi untuk ronde kedua. Di saat ini masing-masing cowok dimanfaatkan secara maksimum: kedua lubang mereka diisi penuh pada saat bersamaan. Seorang dari kami telentang di lantai, kemudian seorang cowok didudukkan di atasnya, dan penisnya menerobos duburnya. Si cowok kemudian dibaringkan telentang di atas si laki-laki. Laki-laki kedua mengangkat kepala si cowok dengan menjambaknya dan kemudian mendorong penisnya ke dalam tenggorokannya. Setelah beberapa saat, posisinya diputar: yang di dubur pindah ke mulut. Kami pun pindah dari satu cowok ke cowok lainnya. Sesudah kira-kira dua jam, kami pun sudah tak mampu lagi, dan bersiap-siap meninggalkan tempat itu. Tapi sebelum pergi, si Jakaria punya ide lainlagi. Ia berjongkok di atas kepala si Jangkung yang sedang telentang tak berdaya.
Kami pun mengajaknya untuk pergi: "Mau apa lagi, lu!" Tiba-tiba dia memencet hidung sang cowok, dan begitu mulutnya terbuka, ia langsung berak ke dalam mulut si Jangkung. Lalu diambilnya rambut si Jangkung untuk dipakai menggosok dan membersihkan lubang pantatnya. Melihat itu, Soni pun tidak mau ketinggalan. Dikangkanginya si Pendek dan diperintahkannya untuk membuka mulut. Tahu akan diapakan, si Pendek meronta-ronta, tetapi setelah puting susunya dipencet dengan keras, tidak berani melawan lagi. Dia pun membuka mulutnya lebar-lebar, dan saya melihat sendiri tai Soni bergulung di mulutnya. Soni memaksanya untuk menelan semua tai itu.
Si Pendek karena ketakutan, berusaha melahap semuanya tetapi mengalami kesulitan karena kotoran itu terlalu kental dan pekat. Terpaksa kami pun beramai-ramai menyumbangkan kencing ke mulut si Pendek untuk membantunya menelan seluruh tai Soni. Akhirnya kami meninggalkan kedua cowok itu telanjang bulat di emperan toko. Pakaian mereka kami ambil dan kami bagi-bagi di antara kami sebagai 'souvenir'. Saya cuma kebagian satu jaket yang beremblem salah satu SMA swasta di Jakarta. Setelah beristirahat di rumah, kami pun mendiskusikan rencana menyerbu rumah di seberang kali yang ada 3 anak cowoknya.
(Tamat)
Sabtu, 05 Mei 2012
Pengakuan Pemerkosa Part 1
Kategori:
Cerita Gay
Saya tinggal di pinggir kali di sebuah kawasan kumuh di Jakarta Barat. Kali itu adalah batas antara kawasan saya yang kumuh dan sebuah perumahan elite. Kami tiap hari melihat mobil-mobil mewah lalu-lalang di jalan seberang, masuk-keluar rumah-rumah yang mewah bagaikan istana itu.
Hari Rabu malam (tgl.13 Mei ) terasa ada sesuatu yang tidak lazim di lingkungan sekitar kami. Jalan-jalan menjadi lebih sepi dari biasanya. Rumah-rumah gedong di seberang kali itu tertutup rapat, dan tidak seperti biasanya, tidak ada orang keluar masuk. Kemudian kami dengar desas-desus bahwa ada banyak mahasiswa yang ditembak mati oleh tentara, dan kerusuhan sudah pecah di Grogol. Keesokan harinya, kami pergi 'melihat-lihat' di pusat pertokoan terdekat. Melihat banyak orang menjarah, kami pun ikut-ikutan mengambil barang dari supermarket. Saya sendiri cuma mendapat beberapa batang coklat dan pakaian bayi, semuanya saya berikan ke tetangga yang punya anak kecil. Pada saat menjarah, kami melihat bahwa para pemilik toko itu sangat ketakutan, dan tampaknya kami bisa melakukan apa saja tanpa ada risiko ditangkap dan dipukuli polisi. Dalam perjalanan pulang, kami (bertujuh) di belokan gang berpapasan dengan dua cowok berseragam SMA, satu tinggi kurus dan satu lagi pendek. Mereka berusaha lari menjauhi kami. Iseng-iseng sambil bercanda, si Karim (salah satu dari kami, yang paling kocak) membentak mereka menyuruh berhenti. Kami sendiri tidak menduga akibat bentakan Karim: kedua cowok itu terhenti langkahnya, kaku bagaikan patung. Ketika kami mendekat, salah satu cowok itu langsung berlutut, memohon belas kasihan. Melihat itu, temannya pun langsung ikut berlutut, menyembah-nyembah.
Kami pun mula-mula cuma bisa melongo, berpandang-pandangan, tidak tahu harus berbuat apa. Tetapi melihat adanya kesempatan, naluri binatang kami mulai merasuk. Si Soni (yang tampangnya paling sangar) langsung membuka ritsleting celananya, mengeluarkan penisnya dan memerintahkan kedua cowok itu untuk mengisapnya. Keduanya ragu-ragu, tetapi langsung ditempelengi bertubi-tubi. Soni kemudian menjambak rambut si Jangkung dan menyodorkan penisnya ke mulutnya. Dia menganga begitu saja, tidak tahu penis itu harus diapakan. Akhirnya Soni mendorong penisnya keluar masuk mulutnya dengan menjambak rambutnya. Dia muntah, tetapi Soni tetap dengan iramanya. Ia kemudian berpaling ke Si Pendek yang dari tadi bengong melihat temannya diperlakukan begitu.
Karena sudah melihat contoh, dia langsung membuka mulutnya dan membiarkan Soni menikmati mulut dan tenggorokannya. Melihat itu, kami pun ikut bergabung, ramai-ramai membuka celana, mengelilingi mereka berdua. Mereka kami suruh mengisap penis kami bergantian, berkeliling lingkaran. Setiap ada perintah, mereka pindah ke orang yang berikutnya, begitu terus sampai sekitar 10 menit. Si Jakaria yang mulai mendapat ide, berkata kepada kami: 'Stop dulu, lihat sini!' Si Pendek yang sedang berlutut di depannya mengisap penisnya disuruhnya berhenti, dan diperintahkannya membuka mulutnya lebar-lebar. Dia berdiri di depannya, penisnya sejengkal dari mulut sang cowok. Jakaria diam sejenak, menarik napas, membuat kami yang lain bingung apa yang ada di pikirannya.
Tiba-tiba dia kencing ke dalam mulut si, si Pendek langsung menutup mulutnya dan berusaha meludahkan kencing yang sudah terlanjur masuk ke mulutnya. Jakaria langsung menempelengnya dan menutup lobang hidungnya sambil mengancam: "Kalau sampai ada kencing gua yang tumpah, gua hajar lu sampai mampus". Ditutup hidungnya, secara refleks si Pendek membuka mulutnya, dan Jakaria kemudian melanjutkan kencingnya yang terputus. Si Pendek pun akhirnya menenggak kencing Jakaria yang datang tak putus-putus. Sebelum kencingnya habis, Jakaria berhenti dan memerintahkan si Jangkung untuk mendekat. "Lu juga, kalau tumpah, awas!" Kali ini dia memasukkan seluruh penisnya ke dalam mulut si Jangkung, dan langsung kencing ke dalam tenggorokannya. Si Jangkung berusaha mati- matian menelan semua air seni itu, tetapi sempat juga tersedak.
Sebagian kencing keluar dari lubang hidungnya, sambil terbatuk-batuk. Kami sangat terangsang melihat ulah Jakaria, dan mengikuti perbuatannya. Satu persatu kami kencing ke dalam mulut si Jangkung dan si Pendek, semuanya habis ditelan mereka. Sesudah itu mereka kembali mengisap berkeliling dalam lingkaran. Sampai saat itu mereka berdua masih berpakaian lengkap, jadi saya perintahkan mereka untuk membuka pakaiannya sendiri tetapi tidak boleh berhenti mengisap. Perlawanan mereka sudah patah, keduanya tidak berani lagi membantah perintah kami. Dalam waktu beberapa menit, keduanya sudah telanjang bulat Penis keduanya tidak bersunat, tampak tergantung lunglai. Ukurannya kecil menurutku, dibandingkan penisku walaupun sedang tidur. Jakaria memegang kontol si Jangkung dan mengocoknya.
Lambat laun penis si Jangkung berdiri tegang juga. Si Soni tak mau ketinggalan, si Pendek juga diloco penisnya sampai ngaceng. Lalu kedua cowok ditelentangkan berdampingan di atas lantai emperan toko. Soni duduk di perut si Pendek sambil mengumpulkan dahak dan ludah di dalam mulutnya. Ketika mulutnya sudah penuh, ibukanya mulut si Pendek dengan paksa, dan diludahkannya semua lendir itu ke dalam mulut si Pendek, lalu dibentaknya:
"Telan semua!" Si Pendek yang sangat ketakutan tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti perintah Soni. Jakaria pun tidak ketinggalan, langsung berbuat hal yang sama terhadap si Jangkung. Terus terang, kami sangat terangsang dengan tontonan ini, dan tidak tahan untuk tidak ikut meludahkan dahak ke dalam mulut mereka berdua. Atas isyarat Soni, kami pun bergantian duduk di dada kedua cowok ...
(Bersambung)
Hari Rabu malam (tgl.13 Mei ) terasa ada sesuatu yang tidak lazim di lingkungan sekitar kami. Jalan-jalan menjadi lebih sepi dari biasanya. Rumah-rumah gedong di seberang kali itu tertutup rapat, dan tidak seperti biasanya, tidak ada orang keluar masuk. Kemudian kami dengar desas-desus bahwa ada banyak mahasiswa yang ditembak mati oleh tentara, dan kerusuhan sudah pecah di Grogol. Keesokan harinya, kami pergi 'melihat-lihat' di pusat pertokoan terdekat. Melihat banyak orang menjarah, kami pun ikut-ikutan mengambil barang dari supermarket. Saya sendiri cuma mendapat beberapa batang coklat dan pakaian bayi, semuanya saya berikan ke tetangga yang punya anak kecil. Pada saat menjarah, kami melihat bahwa para pemilik toko itu sangat ketakutan, dan tampaknya kami bisa melakukan apa saja tanpa ada risiko ditangkap dan dipukuli polisi. Dalam perjalanan pulang, kami (bertujuh) di belokan gang berpapasan dengan dua cowok berseragam SMA, satu tinggi kurus dan satu lagi pendek. Mereka berusaha lari menjauhi kami. Iseng-iseng sambil bercanda, si Karim (salah satu dari kami, yang paling kocak) membentak mereka menyuruh berhenti. Kami sendiri tidak menduga akibat bentakan Karim: kedua cowok itu terhenti langkahnya, kaku bagaikan patung. Ketika kami mendekat, salah satu cowok itu langsung berlutut, memohon belas kasihan. Melihat itu, temannya pun langsung ikut berlutut, menyembah-nyembah.
Kami pun mula-mula cuma bisa melongo, berpandang-pandangan, tidak tahu harus berbuat apa. Tetapi melihat adanya kesempatan, naluri binatang kami mulai merasuk. Si Soni (yang tampangnya paling sangar) langsung membuka ritsleting celananya, mengeluarkan penisnya dan memerintahkan kedua cowok itu untuk mengisapnya. Keduanya ragu-ragu, tetapi langsung ditempelengi bertubi-tubi. Soni kemudian menjambak rambut si Jangkung dan menyodorkan penisnya ke mulutnya. Dia menganga begitu saja, tidak tahu penis itu harus diapakan. Akhirnya Soni mendorong penisnya keluar masuk mulutnya dengan menjambak rambutnya. Dia muntah, tetapi Soni tetap dengan iramanya. Ia kemudian berpaling ke Si Pendek yang dari tadi bengong melihat temannya diperlakukan begitu.
Karena sudah melihat contoh, dia langsung membuka mulutnya dan membiarkan Soni menikmati mulut dan tenggorokannya. Melihat itu, kami pun ikut bergabung, ramai-ramai membuka celana, mengelilingi mereka berdua. Mereka kami suruh mengisap penis kami bergantian, berkeliling lingkaran. Setiap ada perintah, mereka pindah ke orang yang berikutnya, begitu terus sampai sekitar 10 menit. Si Jakaria yang mulai mendapat ide, berkata kepada kami: 'Stop dulu, lihat sini!' Si Pendek yang sedang berlutut di depannya mengisap penisnya disuruhnya berhenti, dan diperintahkannya membuka mulutnya lebar-lebar. Dia berdiri di depannya, penisnya sejengkal dari mulut sang cowok. Jakaria diam sejenak, menarik napas, membuat kami yang lain bingung apa yang ada di pikirannya.
Tiba-tiba dia kencing ke dalam mulut si, si Pendek langsung menutup mulutnya dan berusaha meludahkan kencing yang sudah terlanjur masuk ke mulutnya. Jakaria langsung menempelengnya dan menutup lobang hidungnya sambil mengancam: "Kalau sampai ada kencing gua yang tumpah, gua hajar lu sampai mampus". Ditutup hidungnya, secara refleks si Pendek membuka mulutnya, dan Jakaria kemudian melanjutkan kencingnya yang terputus. Si Pendek pun akhirnya menenggak kencing Jakaria yang datang tak putus-putus. Sebelum kencingnya habis, Jakaria berhenti dan memerintahkan si Jangkung untuk mendekat. "Lu juga, kalau tumpah, awas!" Kali ini dia memasukkan seluruh penisnya ke dalam mulut si Jangkung, dan langsung kencing ke dalam tenggorokannya. Si Jangkung berusaha mati- matian menelan semua air seni itu, tetapi sempat juga tersedak.
Sebagian kencing keluar dari lubang hidungnya, sambil terbatuk-batuk. Kami sangat terangsang melihat ulah Jakaria, dan mengikuti perbuatannya. Satu persatu kami kencing ke dalam mulut si Jangkung dan si Pendek, semuanya habis ditelan mereka. Sesudah itu mereka kembali mengisap berkeliling dalam lingkaran. Sampai saat itu mereka berdua masih berpakaian lengkap, jadi saya perintahkan mereka untuk membuka pakaiannya sendiri tetapi tidak boleh berhenti mengisap. Perlawanan mereka sudah patah, keduanya tidak berani lagi membantah perintah kami. Dalam waktu beberapa menit, keduanya sudah telanjang bulat Penis keduanya tidak bersunat, tampak tergantung lunglai. Ukurannya kecil menurutku, dibandingkan penisku walaupun sedang tidur. Jakaria memegang kontol si Jangkung dan mengocoknya.
Lambat laun penis si Jangkung berdiri tegang juga. Si Soni tak mau ketinggalan, si Pendek juga diloco penisnya sampai ngaceng. Lalu kedua cowok ditelentangkan berdampingan di atas lantai emperan toko. Soni duduk di perut si Pendek sambil mengumpulkan dahak dan ludah di dalam mulutnya. Ketika mulutnya sudah penuh, ibukanya mulut si Pendek dengan paksa, dan diludahkannya semua lendir itu ke dalam mulut si Pendek, lalu dibentaknya:
"Telan semua!" Si Pendek yang sangat ketakutan tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti perintah Soni. Jakaria pun tidak ketinggalan, langsung berbuat hal yang sama terhadap si Jangkung. Terus terang, kami sangat terangsang dengan tontonan ini, dan tidak tahan untuk tidak ikut meludahkan dahak ke dalam mulut mereka berdua. Atas isyarat Soni, kami pun bergantian duduk di dada kedua cowok ...
(Bersambung)
Minggu, 29 April 2012
Minggu, 22 April 2012
Aku Ketahuan
Kategori:
Cerita Gay
Entah mengapa aku menjadi gagu saat membuka email. Sejak cerita berjudul DOMPET, banyak teman yang mengirimku email. Aku jadi serba salah saat harus membalas email yang memang beragam inginnya. Ada yang sekedar memberikan komentar, yang mau kenalan, yang minta no HP, ada yang ingin ketemuan, bahkan tidak sedikit yang menanyakan ciri-ciri fisikku, ukuran penisku, gayaku bercinta dengan istriku, dan lain-lain.
Aku mungkin kaget dengan keadaan yang tidak kubayangkan sebelumnya, karena memang alasanku semula mengirim cerita, hanya ingin agar traumaku yang sejak kecil kupendam, bisa sedikit kubagi. Tidak mungkin aku cerita tentang apa yang kualami kepada sembarang orang, bahkan pada sahabat terdekatku sekalipun, karena menurutku, dengan membuka aibku kepada seseorang, berarti aku sudah menggadaikan hidupku padanya, dan aku tidak mau itu. Pikirku, dengan bercerita di dunia maya, maka aku bisa seekspresif mungkin. Aku tidak harus takut akan dihujat, dihina, dicemooh, bahkan dijauhi, karena toh tidak ada yang tahu sedikitpun tentang aku.
Aku bingung saat harus menjawab email yang intinya mengajak ketemuan. Di satu sisi, tidak mau mengecewakan yang telah mencurahkan energinya untuk mengirimku email, tetapi aku belum siap untuk membuka diri. Terlalu banyak yang harus dipertaruhkan jika sampai ada yang tahu. Akhirnya aku hanya bisa sedikit membatasi diri. Namun kejadian selanjutnya sungguh membuatku shock berat dan tidak kubayangkan sebelumnya.
Jika biasanya langsung kuhapus semua file begitu yakin ceritaku terkirim, namun setelah mengirim "Antara Dua Rasa", tidak kuhapus karena akan kukirim ke teman-teman yang tidak sedikit minta kiriman ceritaku. Namun ternyata aku masih manusia, yang jauh dari alpa.
*****
Setelah dari warnet, hari itu aku ke kampus. Kuliah ekstensi-Filsafat, yang dulu menjadi pilihan keduaku ketika lulus SMA, setelah Teknik Sipil, akhirnya bisa kuambil.
"Hafidz..! Naah, kebetulan ketemu. Tinggal kamu yang belum mengumpulkan tugas syarat ujian. Tak tunggu sampai sore ini yaa!"
Tepukan di bahuku mengejutkanku di tengah sibuknya aku mengisi segala persyaratan ujian. Aahh, aab Saddam (begitu biasa saya menyebutnya karena selain asalnya dari Irak, kumisnya yang melintang menambah tepat julukan itu).
"Iyaa.. Pak, maaf. Banyak kerjaan. Nanti kukirim tugasnya!"
Aku gugup, merasa bersalah, kenapa tidak sekalian ketika di warnet tadi. Namun sebelum beliau menjauh, aku baru ingat bahwa aku telah menyimpan tugas itu di disket, dan aku ingat betul tadi kumasukkan dalam tasku. Bergegas kuambil disket dan mengejarnya. Sambil berbasa-basi aku menyerahkannya.
Dua hari aku disibukkan dengan proyek kantor, sampai saat menjelang malam saat tiba di rumah, istriku memberikan pesan dari aab Saddam yang katanya siangnya ke rumah. Aku berpikir keras, ada apa? Kubaca pesannya sekali lagi. Yaah.. Hanya sebuah alamat dan sepenggal tulisan, "Harap datang!".
Aku masih belum bisa menebak apa gerangan, bahkan sampai ketika kupencet bel kontrakan bercat krem, sebagaimana alamat tertera. Dengan senyum mengembang, aab Saddam mempersilakanku masuk. Aku masih bingung.
"Aahh, ceritamu bagus, Dj-Paijo!"
Plaak. Seolah tamparan keras telah mengahantamku. Spontan aku gemetaran saat nama samaranku disebut. Wuiihh, disket itu. Aku baru sadar bahwa aku telah salah menyerahkan disket. Aku bengong. Keringat dingin mulai mengucur.
"Maaf, jika membuatmu salah tingkah. Buatku bukan apa-apa, dan aku tahu perasaanmu!"
Sentuhan aab Saddam mengejutkan keterpakuanku. Aku mencoba menepisnya, namun aku benar-benar di batas kebimbangan..
"Perlu kau ketahui, aku mengikuti setiap ceritamu, Dj. Bayangkan, dari bulan April, aku begitu terobsesi dengan sosok yang ternyata adalah salah satu mahasiswaku, ha-ha-ha"
Aku menyengir mencoba mengimbangi tawanya. Entah mengapa aku mulai sedikit lega setelah mendengar pengakuannya.
"Kau pasti tahu Mr.DOT, kan?".
Aahh, iyaa. Sosok itulah yang paling sering mengirimku email yang isinya berbau cabul. Diakah?
"Tanpa kejadian inipun aku sudah sangat terobsesi denganmu, Dj. Setiap kau tidak masuk kelasku, kuliahku jadi hambar. Tapi kini, kuharap kau ngerti dan sedikit mau berbagi!"
Aab Saddam semakin berani merajuk. Aku menggeleng, mencoba meminta pengertiannya. Tapi justru dia semakin penasaran.
"Bukan tipeku pemaksa, Dj, tapi aku ingin kau ngerti, please! Aku benar-benar ingin lebih darimu"
Aku semakin serba salah. Aab Saddam yang semula begitu kuhormati, kini seolah monster yang siap melahapku. Rasa tidak enakku sudah terkalahkan dengan ketidakberdayaanku. Aku hanya terdiam, pasrah.
"Istrimu, keluargamu, dan yang mengenalmu tentu belum tahu sebenarnya, kan? Dan aku juga yakin kau belum siap untuk diketahui. So.. Gimana?"
Nada yang begitu sopan dan lirih, justru telah mengulitiku habis. Sangat berkesan memaksa. Aku semakin membisu, ketika tangannya menyentuh wajahku. Ketidaksiapanku akan terbongkarnya rahasiaku, membuat semakin leluasa tangannya meraih apapun yang ingin disentuhnya di diriku. Aku berpikir keras dan tidak mau kalah sebelum perang. Akal sehatku berputar, mencoba menemukan apa yang bisa kuperbuat. Ahaa.. Akhirnya aku mendapatkan ide cemerlang.
Lumatan bibirnya yang semula kurasakan hambar, kubalas jauh lebih ganas. Aku harus benar-benar berakting. Kugigit bibirnya, dia mengaduh, namun aku tetap mengganas. Meski terganggu dengan kumisnya yang melintang tebal, namun aku harus. Bahkan kini aku yang mengambil inisiatif, harus membuatnya terlena. Kutarik paksa kaosnya, nyaris robek. Meski sudah menduga sebelumnya namun aku sempat terkejut juga dengan apa yang di depanku. Darah Iraknya membuat hampir semua badannya di tumbuhi rambut. Sangat lebat. Aku tak peduli. Kupagut semua yang menempel di dadanya. Dua putingnya kulumat dan kugigit.
Dia meraung, mendekapku erat. Tangannya ganas mencopot bajuku, sehingga tak seberapa lama, semua yang kupakai sudah direnggutnya. Aku pun berbuat yang sama. Kutarik paksa celana dalamnya yang masih tersisa, dan aah... aku sempat ngeri melihat betapa panjang dan besar penisnya. Bayangan betapa wibawanya dia ketika sedang di kelas yang begitu rapi, berdasi, sepatu, rambut klimis suara berat, badan kekar hilang sudah. Ahh sudah kepalang.
Dia menindihku, garang. Aku kelabakan menahan nafas saat mulutku dibungkam dengan mulutnya. Belum lagi gairah yang membubung di ubun-ubun seiring dengan permainan tangannya di penisku. Dijilatinya hampir sekujur tubuhku. Bahkan anusku yang aku sendiri jijik membayangkannya, tak luput dari jilatannya. Aku mendesah-desah ketika sensasi luar biasa kurasakan, setiap lidahnya menusuk-nusuk anusku. Aku rancap penisku seiring permainan gilanya. Aku mengerang, bahkan sedikit kudramatisir berharap agar dia semakin memuncak, bernafsu dan lupa diri.
Ketika mulutnya menemukan penisku, kuhentikkan aksiku. Kuajukan syarat, agar dia mau ditutup matanya. Benar dugaanku, hasrat membaranya tidak lagi bisa membaca apa mauku. Dengan ganas dilumatnya penisku. Aku semakin mengerang. Aku berdiri, masih dengan mendesah kumaju-mundurkan pantatku. Semakin ganas melumatku. Rasa nikmat yang ditawarkan masih menyadarkanku untuk mengambil ponsel kameraku. Kubidik dengan pas setiap aksinya melumat penisku. Kujambak rambutnya dan kutengadahkan wajahnya agar aku bisa membidik tepat wajahnya. Kuambil pose terbagus saat dia menjilati penisku. Aku mendesah penuh kemenangan. Kukembalikan ponselku, dan kunikmati permainan.
Kubuka tutup matanya. Kuraih penisnya yang sudah sangat tegang. Rasa mual yang pernah hadir ketika harus mengulum penis, kulupakan, demi hebatnya aktingku. Dia mulai meraung, ketika semakin kupercepat mulutku. Tadinya aku hendak menyerahkan anusku yang memang sampai sekarang belum pernah termasuki penis. Namun untungnya dia sudah tidak tahan. Dia meraung semakin keras. Aku yakin geloranya sudah memuncak. Dipegangya kepalaku dengan kuat. Tapi aku tidak mau spermanya muncrat di mulut. Dengan cepat pula kucabut mulutku, dan kuraih penisnya. Kubanting dia, dan mulai kubisikkan berbagai kata di kupingnya yang bisa memacu laju spermanya. Sambil kurancap, kugigit berkali-kali kupingnya, dan akhirnya dia meraung panjang, ketika kurasakan spermanya muncrat membasahi perutku. Didekapnya tubuhku erat, seolah tidak hendak dilepasnya. Aku tersenyum. Ah, satu-satu.
Aku sudah hendak beranjak, saat dia terbaring lemas. Namun ternyata dia menuntut agar bisa melihat bagaimana wajahku ketika spermaku muntah. Tanpa pikir panjang, aku berdiri. Kusodorkan penisku ke mulutnya. Sambil berjongkok, dia terus menatap wajahku. Aku meringis, merem melek, menelan ludah, mendesah dan banyak lagi aksi wajahku yang menggambarkan saat hasratku menegang. Dia semakin mempercepat aksinya. Aku mulai mengejang. Kurasakan spermaku sudah di ujung tanduk untuk dimuncratkan. Kucabut penisku dari mulutnya. Kurancap kencang di depan wajahnya, sambil mendesah keras kumuncratkan spermaku ke wajahnya. Belum habis spermaku muncrat, dia kulum penisku. Kusodokkan muncratan terakhir spermaku ke mulutnya, penuh dengan bahagia. Aku tak peduli ketika dia telan spermaku.
Lebih dua jam kami habiskan berdua, dan banyak hal yang dimauninya. Aku tahu banyak darinya bahwa di negaranya, dia tidak pernah mendapatkan kenikmatan yang diingininya. Dia hanya bisa merancap diri sambil membayangkan lelaki pujaannya, tidak lebih dari itu. Namun, setelah 2 tahun di Jogja, dia mula menemukan keasyikkan baru yang semula hanya sebuah angan, dan aku bisa membayangkan bagamana bergairahnya dia setiap melampiaskan hasrat terpendamnya.
Belum hilang rasa capekku, dia kembali mencoba menaikkan gairahku lagi. Sebenarnya aku tidak mau lagi, karena malamnya aku harus melayani istriku yang sudah 4 hari tidak kukabulkan hasratnya. Namun karena aku belum yakin akan keberhasilan jepretanku, maka aku hanya mengangguk dan mengangguk, karena memang aku belum tahu hasil jepretanku sebagai senjata tandingannya.
Kami kembali bergumul, untuk kesekian kalinya, dan aku tidak tahu entah berapa kali aku harus bisa berbaik-baik dengannya, dan entah untuk berapa lama. Namun aku berharap semoga hasil jepretanku akan baik, dan bisa dijadikan senjata tandingan.
(Tamat)
Aku mungkin kaget dengan keadaan yang tidak kubayangkan sebelumnya, karena memang alasanku semula mengirim cerita, hanya ingin agar traumaku yang sejak kecil kupendam, bisa sedikit kubagi. Tidak mungkin aku cerita tentang apa yang kualami kepada sembarang orang, bahkan pada sahabat terdekatku sekalipun, karena menurutku, dengan membuka aibku kepada seseorang, berarti aku sudah menggadaikan hidupku padanya, dan aku tidak mau itu. Pikirku, dengan bercerita di dunia maya, maka aku bisa seekspresif mungkin. Aku tidak harus takut akan dihujat, dihina, dicemooh, bahkan dijauhi, karena toh tidak ada yang tahu sedikitpun tentang aku.
Aku bingung saat harus menjawab email yang intinya mengajak ketemuan. Di satu sisi, tidak mau mengecewakan yang telah mencurahkan energinya untuk mengirimku email, tetapi aku belum siap untuk membuka diri. Terlalu banyak yang harus dipertaruhkan jika sampai ada yang tahu. Akhirnya aku hanya bisa sedikit membatasi diri. Namun kejadian selanjutnya sungguh membuatku shock berat dan tidak kubayangkan sebelumnya.
Jika biasanya langsung kuhapus semua file begitu yakin ceritaku terkirim, namun setelah mengirim "Antara Dua Rasa", tidak kuhapus karena akan kukirim ke teman-teman yang tidak sedikit minta kiriman ceritaku. Namun ternyata aku masih manusia, yang jauh dari alpa.
*****
Setelah dari warnet, hari itu aku ke kampus. Kuliah ekstensi-Filsafat, yang dulu menjadi pilihan keduaku ketika lulus SMA, setelah Teknik Sipil, akhirnya bisa kuambil.
"Hafidz..! Naah, kebetulan ketemu. Tinggal kamu yang belum mengumpulkan tugas syarat ujian. Tak tunggu sampai sore ini yaa!"
Tepukan di bahuku mengejutkanku di tengah sibuknya aku mengisi segala persyaratan ujian. Aahh, aab Saddam (begitu biasa saya menyebutnya karena selain asalnya dari Irak, kumisnya yang melintang menambah tepat julukan itu).
"Iyaa.. Pak, maaf. Banyak kerjaan. Nanti kukirim tugasnya!"
Aku gugup, merasa bersalah, kenapa tidak sekalian ketika di warnet tadi. Namun sebelum beliau menjauh, aku baru ingat bahwa aku telah menyimpan tugas itu di disket, dan aku ingat betul tadi kumasukkan dalam tasku. Bergegas kuambil disket dan mengejarnya. Sambil berbasa-basi aku menyerahkannya.
Dua hari aku disibukkan dengan proyek kantor, sampai saat menjelang malam saat tiba di rumah, istriku memberikan pesan dari aab Saddam yang katanya siangnya ke rumah. Aku berpikir keras, ada apa? Kubaca pesannya sekali lagi. Yaah.. Hanya sebuah alamat dan sepenggal tulisan, "Harap datang!".
Aku masih belum bisa menebak apa gerangan, bahkan sampai ketika kupencet bel kontrakan bercat krem, sebagaimana alamat tertera. Dengan senyum mengembang, aab Saddam mempersilakanku masuk. Aku masih bingung.
"Aahh, ceritamu bagus, Dj-Paijo!"
Plaak. Seolah tamparan keras telah mengahantamku. Spontan aku gemetaran saat nama samaranku disebut. Wuiihh, disket itu. Aku baru sadar bahwa aku telah salah menyerahkan disket. Aku bengong. Keringat dingin mulai mengucur.
"Maaf, jika membuatmu salah tingkah. Buatku bukan apa-apa, dan aku tahu perasaanmu!"
Sentuhan aab Saddam mengejutkan keterpakuanku. Aku mencoba menepisnya, namun aku benar-benar di batas kebimbangan..
"Perlu kau ketahui, aku mengikuti setiap ceritamu, Dj. Bayangkan, dari bulan April, aku begitu terobsesi dengan sosok yang ternyata adalah salah satu mahasiswaku, ha-ha-ha"
Aku menyengir mencoba mengimbangi tawanya. Entah mengapa aku mulai sedikit lega setelah mendengar pengakuannya.
"Kau pasti tahu Mr.DOT, kan?".
Aahh, iyaa. Sosok itulah yang paling sering mengirimku email yang isinya berbau cabul. Diakah?
"Tanpa kejadian inipun aku sudah sangat terobsesi denganmu, Dj. Setiap kau tidak masuk kelasku, kuliahku jadi hambar. Tapi kini, kuharap kau ngerti dan sedikit mau berbagi!"
Aab Saddam semakin berani merajuk. Aku menggeleng, mencoba meminta pengertiannya. Tapi justru dia semakin penasaran.
"Bukan tipeku pemaksa, Dj, tapi aku ingin kau ngerti, please! Aku benar-benar ingin lebih darimu"
Aku semakin serba salah. Aab Saddam yang semula begitu kuhormati, kini seolah monster yang siap melahapku. Rasa tidak enakku sudah terkalahkan dengan ketidakberdayaanku. Aku hanya terdiam, pasrah.
"Istrimu, keluargamu, dan yang mengenalmu tentu belum tahu sebenarnya, kan? Dan aku juga yakin kau belum siap untuk diketahui. So.. Gimana?"
Nada yang begitu sopan dan lirih, justru telah mengulitiku habis. Sangat berkesan memaksa. Aku semakin membisu, ketika tangannya menyentuh wajahku. Ketidaksiapanku akan terbongkarnya rahasiaku, membuat semakin leluasa tangannya meraih apapun yang ingin disentuhnya di diriku. Aku berpikir keras dan tidak mau kalah sebelum perang. Akal sehatku berputar, mencoba menemukan apa yang bisa kuperbuat. Ahaa.. Akhirnya aku mendapatkan ide cemerlang.
Lumatan bibirnya yang semula kurasakan hambar, kubalas jauh lebih ganas. Aku harus benar-benar berakting. Kugigit bibirnya, dia mengaduh, namun aku tetap mengganas. Meski terganggu dengan kumisnya yang melintang tebal, namun aku harus. Bahkan kini aku yang mengambil inisiatif, harus membuatnya terlena. Kutarik paksa kaosnya, nyaris robek. Meski sudah menduga sebelumnya namun aku sempat terkejut juga dengan apa yang di depanku. Darah Iraknya membuat hampir semua badannya di tumbuhi rambut. Sangat lebat. Aku tak peduli. Kupagut semua yang menempel di dadanya. Dua putingnya kulumat dan kugigit.
Dia meraung, mendekapku erat. Tangannya ganas mencopot bajuku, sehingga tak seberapa lama, semua yang kupakai sudah direnggutnya. Aku pun berbuat yang sama. Kutarik paksa celana dalamnya yang masih tersisa, dan aah... aku sempat ngeri melihat betapa panjang dan besar penisnya. Bayangan betapa wibawanya dia ketika sedang di kelas yang begitu rapi, berdasi, sepatu, rambut klimis suara berat, badan kekar hilang sudah. Ahh sudah kepalang.
Dia menindihku, garang. Aku kelabakan menahan nafas saat mulutku dibungkam dengan mulutnya. Belum lagi gairah yang membubung di ubun-ubun seiring dengan permainan tangannya di penisku. Dijilatinya hampir sekujur tubuhku. Bahkan anusku yang aku sendiri jijik membayangkannya, tak luput dari jilatannya. Aku mendesah-desah ketika sensasi luar biasa kurasakan, setiap lidahnya menusuk-nusuk anusku. Aku rancap penisku seiring permainan gilanya. Aku mengerang, bahkan sedikit kudramatisir berharap agar dia semakin memuncak, bernafsu dan lupa diri.
Ketika mulutnya menemukan penisku, kuhentikkan aksiku. Kuajukan syarat, agar dia mau ditutup matanya. Benar dugaanku, hasrat membaranya tidak lagi bisa membaca apa mauku. Dengan ganas dilumatnya penisku. Aku semakin mengerang. Aku berdiri, masih dengan mendesah kumaju-mundurkan pantatku. Semakin ganas melumatku. Rasa nikmat yang ditawarkan masih menyadarkanku untuk mengambil ponsel kameraku. Kubidik dengan pas setiap aksinya melumat penisku. Kujambak rambutnya dan kutengadahkan wajahnya agar aku bisa membidik tepat wajahnya. Kuambil pose terbagus saat dia menjilati penisku. Aku mendesah penuh kemenangan. Kukembalikan ponselku, dan kunikmati permainan.
Kubuka tutup matanya. Kuraih penisnya yang sudah sangat tegang. Rasa mual yang pernah hadir ketika harus mengulum penis, kulupakan, demi hebatnya aktingku. Dia mulai meraung, ketika semakin kupercepat mulutku. Tadinya aku hendak menyerahkan anusku yang memang sampai sekarang belum pernah termasuki penis. Namun untungnya dia sudah tidak tahan. Dia meraung semakin keras. Aku yakin geloranya sudah memuncak. Dipegangya kepalaku dengan kuat. Tapi aku tidak mau spermanya muncrat di mulut. Dengan cepat pula kucabut mulutku, dan kuraih penisnya. Kubanting dia, dan mulai kubisikkan berbagai kata di kupingnya yang bisa memacu laju spermanya. Sambil kurancap, kugigit berkali-kali kupingnya, dan akhirnya dia meraung panjang, ketika kurasakan spermanya muncrat membasahi perutku. Didekapnya tubuhku erat, seolah tidak hendak dilepasnya. Aku tersenyum. Ah, satu-satu.
Aku sudah hendak beranjak, saat dia terbaring lemas. Namun ternyata dia menuntut agar bisa melihat bagaimana wajahku ketika spermaku muntah. Tanpa pikir panjang, aku berdiri. Kusodorkan penisku ke mulutnya. Sambil berjongkok, dia terus menatap wajahku. Aku meringis, merem melek, menelan ludah, mendesah dan banyak lagi aksi wajahku yang menggambarkan saat hasratku menegang. Dia semakin mempercepat aksinya. Aku mulai mengejang. Kurasakan spermaku sudah di ujung tanduk untuk dimuncratkan. Kucabut penisku dari mulutnya. Kurancap kencang di depan wajahnya, sambil mendesah keras kumuncratkan spermaku ke wajahnya. Belum habis spermaku muncrat, dia kulum penisku. Kusodokkan muncratan terakhir spermaku ke mulutnya, penuh dengan bahagia. Aku tak peduli ketika dia telan spermaku.
Lebih dua jam kami habiskan berdua, dan banyak hal yang dimauninya. Aku tahu banyak darinya bahwa di negaranya, dia tidak pernah mendapatkan kenikmatan yang diingininya. Dia hanya bisa merancap diri sambil membayangkan lelaki pujaannya, tidak lebih dari itu. Namun, setelah 2 tahun di Jogja, dia mula menemukan keasyikkan baru yang semula hanya sebuah angan, dan aku bisa membayangkan bagamana bergairahnya dia setiap melampiaskan hasrat terpendamnya.
Belum hilang rasa capekku, dia kembali mencoba menaikkan gairahku lagi. Sebenarnya aku tidak mau lagi, karena malamnya aku harus melayani istriku yang sudah 4 hari tidak kukabulkan hasratnya. Namun karena aku belum yakin akan keberhasilan jepretanku, maka aku hanya mengangguk dan mengangguk, karena memang aku belum tahu hasil jepretanku sebagai senjata tandingannya.
Kami kembali bergumul, untuk kesekian kalinya, dan aku tidak tahu entah berapa kali aku harus bisa berbaik-baik dengannya, dan entah untuk berapa lama. Namun aku berharap semoga hasil jepretanku akan baik, dan bisa dijadikan senjata tandingan.
(Tamat)
Sabtu, 21 April 2012
Simpanan Mama Part 2
Kategori:
Cerita Gay
Dua minggu kemudian. Aku baru bangun tidur siang. Sekitar jam tiga sore. Waktu itu hari Rabu, aku enggak ada kelas. Karena itu biasanya habis tidur siang, sorenya aku latihan tenis. Kuubek-ubek kamarku, tapi tak kutemukan dimana raket tenisku berada. Jangan-jangan dipinjam si Toni, pikirku. Adik bungsuku itu memang doyan banget minjem barang-barangku tanpa permisi.
Aku segera menuju kamarnya yang terletak di pavilyun samping bangunan utama rumah kami. Toni memang sengaja diberikan kamar disitu. Maklum ABG. Dia doyan nge-Band bareng temannya. Daripada ribut dengar suara alat musik yang dimainkannya bareng-bareng temannya maka lebih aman meletakkannya disitu. Jadi suaranya tidak terlalu keras terdengar di dalam rumah. Mending suara musik yang dimainkan asyik di dengar kuping. Ini malah musik yang enggak jelas juntrungannya. Metal yang enggak mutu. Ups, jangan salah sangka lagi. Aku bukan anti metal. Aku doyan metal. Tapi metal yang enggak dimaenin sama Toni dan teman-temannya. He.. he..
Pintu kamar Toni tertutup rapat. Juga gorden jendelanya. Tumben. Pikirku. Jarang-jarang gorden kamarnya ditutup. Paling juga kalau sudah malem kalau dia tidur. Dari kamarnya terdengar hingar bingar musik metal dari tape. Si Toni berarti ada di kamar, pikirku. Kugenggam gerendel pintu, kuputar. Tak terkunci. Kubuka pintu dan langsung melongokkan wajahku ke kamarnya. Aku sudah bersiap-siap untuk ngomel ke dia.
"Toni! sudah berapa kali gue bilang, jangan ambil barang-barang gue seenaknya.. Hahh?!!," kata-kataku terhenti segera.
Mulutku menganga, tenggorokanku rasanya tercekat. Mataku melotot melihat peristiwa yang terjadi dalam kamar Toni.
Adikku itu sedang bermain cinta di kamarnya. Tubuhnya telentang di atas ranjang. Pakaian sekolahnya belum terlepas seluruhnya. Hanya resleting celananya saja yang terbuka lebar. Kontolnya yang nongol dari celah resleting itu, ngaceng total sedang dikulum oleh seseorang yang sedang menungging dalam posisi berlawanan arah dengan Toni di atas tubuhnya.
Aku sih sudah tahu kalau kelakuan adikku yang masih ABG ini sama bejatnya seperti aku. Aku sudah sangat tahu kalau dia doyan ngesex dengan orang lain. Harusnya aku tak perlu kaget melihatnya sedang in action seperti ini. Tapi gimana aku enggak kaget kali ini, yang kulihat saat ini sangat tidak biasa. Toni maen kulum-kuluman kontol bukan dengan cewek. Tapi dengan cowok men. Dan cowok yang sedang mengulum kontolnya itu adalah si Willy! Shit!
Si Tonipun edan. Masak mulutnya juga ngulum kontol si Willy? Ngawur! Yang benar aja, kontol gede si Willy itu dikuluminya dengan penuh nafsu seperti ngulum permen lolipop saja. Toni kulihat salah tingkah setelah menyadari kehadiranku. Buru-buru dilepaskannya kontol si Willy dari mulutnya. Ia segera bangkit dan membereskan celananya. Sementara si Willy kulihat tenang-tenang saja.
"Ngapain Tom? Masuk kamar gue kok enggak ngetuk pintu dulu," kata Toni terlihat kurang suka padaku.
"Memang elo pernah ngetuk pintu kalau masuk kamar gua?" sahutku. Kupandangi keduanya dengan tatapan tajam. Willy kulihat tersenyum padaku.
"Hai Tom," katanya melambaikan tangan seperti tak ada apa-apa.
"Ngapain elo berdua?" kataku dingin.
"Enggak ngapa-ngapain. Mau ngapain elo?" sahut Toni masih salah tingkah.
"Enggak ngapa-ngapain?! Jelas-jelas mata gua ngelihat elo berdua sedang emut-emutan kontol kok elo bisa ngomong enggak ngapa-ngapain. Elo homo?!" kataku.
"Siapa yang homo? Enak aja!" kata Toni protes.
"Kalau bukan homo, apa namanya cowok sama cowok emut-emutan kontol begitu? Nah elo, kok elo bisa..," kataku pada Willy.
Kalimatku tak kusambung. Aku menatap bingung padanya.
"Sante aja men. Ini hal yang biasa kok," sahut Willy tanpa beban.
"Biasa??!" tanyaku bingung. Dahiku mengernyit.
"Iya. Gue sama Toni kebetulan lagi sama-sama horny. enggak ada pelampiasan, ya sudah, kenapa kita enggak maen berdua aja. Toh tujuannya cuman untuk melampiaskan birahi doang. Maen sama cewek juga emut-emutan kan. Gua punya mulut, Toni punya mulut, kan bisa dipake untuk ngemut. Hasilnya tetap sama kok," sahut Willy tenang.
Gigolo ganteng itu benar-benar tenang luar biasa. Sepertinya apa yang dilakukannya bersama Toni itu bukan hal yang aneh. Aku jadi terkesima mendengar jawabannya. Toni kulihat mengangguk-angguk mendengar kata-kata Willy. Duduk dengan seragam SMUnya diatas ranjang, adik bungsuku itu tak berkata apa-apa.
"Gua enggak ngerti deh. Gua yang gila atau elo berdua yang gila," kataku.
"Enggak ada yang gila Tom. Apa gue pernah ngatain elo gila karena elo suka mandangin kontol gua? enggak pernah kan?"
"Maksud elo?"
"Jangan pura-pura bego. Gue tahu kok elo suka curi-curi pandang lihat tonjolan di selangkangan gue. Apalagi kalau pas gue telanjang bulat. Mata elo kan sampai melotot ngelihat adik gue ini kan," kata Willy.
Ia menggoyang-goyangkan kontolnya yang sudah lemas. Memamerkannya padaku. Aku tak tahu mau bilang apa lagi. Tak kusangka Willy mengetahui kalau aku selalu memperhatikan perkakasnya selama ini.
"Sudahlah. Sekarang elo mau berdiri terus disitu sambil ngelihatin kita sekaligus melototin kontol gue, atau mau ikutan bareng kita menikmati anugerah yang kita miliki. Tom kita harus bersyukur lo, kita bertiga kan dianugerahi kontol yang punya ukuran diatas rata-rata. enggak banyak lo orang yang dianugerahi hal beginian," kata Willy.
Benar yang dikatakan Willy. Kami bertiga memang punya ukuran kontol yang diatas rata-rata. Adikku si Tony kulihat juga punya kontol yang gede. Ukurannya enggak jauh-jauh dengan ukuranku.
Akal sehatku sirna. Aku yang memang sudah cukup lama tergoda dengan kontol si Willy akhirnya pasrah saja saat Willy dan Toni membimbingku ke arah ranjang. Kubiarkan saja mereka mempreteli seluruh pakaianku. Kami bertiga telanjang bulat di dalam kamar Toni.
Willy memberikan penghormatan khusus padaku. Rasa penasaranku pada kontolnya yang gede itu dipuaskan olehnya. Willy mengangkangi leherku saat aku berbaring telentang di atas ranjang. Kontolnya yang besar ditampar-tamparkannya ke pipiku. Birahiku menggelegak. Pertama kali seumur hidupku aku diperlakukan seperti ini. Saking menggelegaknya birahiku akhirnya apa yang tak pernah terpikirkan selama ini dibenakku kulakukan. Kukulum kontol Willy sepuas-puasnya. Aku menggila. Seperti anjing ketemu tulang, kulahap kontol Willy. Aku tak ubahnya Mamaku dan Mimi yang tergila-gila pada kontol gigolo ganteng ini.
Rupanya Tonipun sama tergila-gilanya seperti aku. Ia berebutan denganku mengerjai kontol besar si Willy. Seringkali kudorong wajah ganteng adikku yang masih abg itu menjauhi kontol Willy, karena aku sudah tak sabar ingin memasukkan batang gede itu dalam mulutku. kalau sudah gitu, Toni cuman bisa bersungut-sungut padaku. Aku cuek aja. Sementara Willy tertawa melihat kami berebutan kontolnya seperti itu.
"Kalian sekeluarga sama binalnya deh," komentarnya.
Ia pasti teringat pada Mama dan Mimi saat mengoral kontolnya. Pasti sama maniaknya seperti aku dan Toni.
Aku jadi terlupa, bahwa aku laki-laki straight. Aku jadi menikmati permainan laki-laki seperti ini. Willy rupanya tak mau melewatkan kontolku dan Toni. Dia segera membalik tubuhnya berlawanan arah denganku. Aku dan Toni sama-sama berbaring telentang bersisian. Mulut kami bergantian mengulum kontol Willy. Sementara Willy yang menungging diatas kami menggilir kontolku dan Toni. Mulutnya ganti berganti mengulum kontolku dan kontol adikku itu. Saat mulutnya di kontolku, tangannya mengocok kontol Toni. Begitu juga sebaliknya.
Sore itu aku tak jadi latihan tenis. Kebetulan Mama belum pulang dari kantor, dan Mimi tak ada di rumah, kami puas-puaskan bermain sex bertiga. Segala apa yang memungkinkan, kami lakukan bertiga. Termasuk juga saling menyodomi satu sama lain. Baby oil yang biasanya digunakan Toni untuk coli, kami gunakan sebagai pelumas agar kontol tak terlalu sulit memasuki lobang pantat. Meski dianal adalah kali pertama buatku, tapi aku ternyata bisa menikmatinya. Diantara rasa sakit dimasuki kontol dalam lobang pantat, aku merasakan juga nikmat yang luar biasa.
Saat sore menjelang, kami segera cabut menuju kost Willy. Kami tak mau terganggu dengan kepulangan Mama dari tempat kerjanya. Pada Mama, Willy menelpon bahwa dia tak menginap di rumah kami malam itu. Ada kerjaan, alasannya pada Mama. Sementara aku dan Toni tak perlu menelpon Mama. Sudah biasa kami tak tidur di rumah. Jadi Mama tak akan merasa aneh. Malam itu kami puas-puaskan bermain cinta bertiga. Tak peduli, bahwa aku dan Toni adalah saudara kandung, kami juga saling menyodomi.
Setelah beberapa kali bersetubuh, akhirnya kami bisa memahami posisi masing-masing. Meskipun kami sama-sama fleksibel saat bercinta, namun Toni lebih suka pada posisi dianal, baik olehku maupun Willy. Sedangkan aku dan Willy suka keduanya, baik dianal dan menganal. Hanya saja aku lebih menikmati dianal oleh Willy daripada oleh Toni. Kontol Willy yang sangat besar sungguh membuatku keenakan. Aku sampai menggelepar-gelepar saat dianalnya.
kalau menganal, aku lebih suka melakukannya pada Toni. Aku sangat suka melihat ekspresi adikku yang sepertinya kesakitan namun terus memaksaku untuk mengentotnya dengan buas. Sedangkan kalau menganal Willy, aku tak menemukan ekspresi itu. Willy sudah sangat profesional dalam hal ini. Ternyata dia adalah gigolo bagi wanita dan laki-laki sekaligus. Saat dientot, ekspresinya hanya penuh kenikmatan saja. Lagipula, lobang pantat Willy tak sesempit lobang pantat si Toni. Lobang pantat Willy sudah mengendor. Dia sudah sering dientot oleh laki-laki lain.
Kami bercinta tiada henti. Willy memberikan kami minuman rahasia miliknya. Minuman yang membuat tenaga kami tak kunjung sirna. Pantas saja tenaga gigolo ini bak kuda liar. Ia punya ramuan rahasia rupanya. Saat kutanyakan pada Willy, apa cairan itu dan darimana ia memperolehnya, gigolo itu tak mau mengatakannya padaku.
"Ini rahasia perusahaan," jawabnya. Aku dan Toni tertawa mendengar jawabannya.
Hari kamis esoknya, harusnya Toni sekolah. Tapi adik bungsuku itu bolos. Aku juga bolos kuliah, pun Willy. Kami seperti mesin sex. Toni tak bosan-bosannya memintaku dan Willy bergantian menghajar lobang pantatnya. Dia benar-benar ketagihan.
"Pantes aja cewek-cewek suka dientot. Enak banget men," komentarnya.
Pantat Toni yang putih dan montok penuh semangat bergerak saat Willy atau aku menyodominya. kalau kupikir-pikir, goyang ngebor Inul, kalah jauh deh dibandingin ngebornya si Toni. Membuatku dan Willy tak kuasa untuk menahan orgasme. Sperma kami tumpah memenuhi lobang pantat adikku itu. Kamar kos Willy semerbak dengan bau sperma dan keringat kami. Bau ini malah semakin membuat kami bernafsu untuk mengentot lagi dan lagi.
Setelah sore, akhirnya kami kembali ke rumah. Dan sejak itu kami menjadi rutin ngesex bertiga. Mencuri-curi kesempatan tanpa sepengetahuan Mama dan Mimi. Apa yang kami lakukan adalah rahasia kami bertiga. Tak perlu orang lain tahu. Termasuk juga cewek-cewek kami. Apalagi Mama dan si Mimi.
(Tamat)
Aku segera menuju kamarnya yang terletak di pavilyun samping bangunan utama rumah kami. Toni memang sengaja diberikan kamar disitu. Maklum ABG. Dia doyan nge-Band bareng temannya. Daripada ribut dengar suara alat musik yang dimainkannya bareng-bareng temannya maka lebih aman meletakkannya disitu. Jadi suaranya tidak terlalu keras terdengar di dalam rumah. Mending suara musik yang dimainkan asyik di dengar kuping. Ini malah musik yang enggak jelas juntrungannya. Metal yang enggak mutu. Ups, jangan salah sangka lagi. Aku bukan anti metal. Aku doyan metal. Tapi metal yang enggak dimaenin sama Toni dan teman-temannya. He.. he..
Pintu kamar Toni tertutup rapat. Juga gorden jendelanya. Tumben. Pikirku. Jarang-jarang gorden kamarnya ditutup. Paling juga kalau sudah malem kalau dia tidur. Dari kamarnya terdengar hingar bingar musik metal dari tape. Si Toni berarti ada di kamar, pikirku. Kugenggam gerendel pintu, kuputar. Tak terkunci. Kubuka pintu dan langsung melongokkan wajahku ke kamarnya. Aku sudah bersiap-siap untuk ngomel ke dia.
"Toni! sudah berapa kali gue bilang, jangan ambil barang-barang gue seenaknya.. Hahh?!!," kata-kataku terhenti segera.
Mulutku menganga, tenggorokanku rasanya tercekat. Mataku melotot melihat peristiwa yang terjadi dalam kamar Toni.
Adikku itu sedang bermain cinta di kamarnya. Tubuhnya telentang di atas ranjang. Pakaian sekolahnya belum terlepas seluruhnya. Hanya resleting celananya saja yang terbuka lebar. Kontolnya yang nongol dari celah resleting itu, ngaceng total sedang dikulum oleh seseorang yang sedang menungging dalam posisi berlawanan arah dengan Toni di atas tubuhnya.
Aku sih sudah tahu kalau kelakuan adikku yang masih ABG ini sama bejatnya seperti aku. Aku sudah sangat tahu kalau dia doyan ngesex dengan orang lain. Harusnya aku tak perlu kaget melihatnya sedang in action seperti ini. Tapi gimana aku enggak kaget kali ini, yang kulihat saat ini sangat tidak biasa. Toni maen kulum-kuluman kontol bukan dengan cewek. Tapi dengan cowok men. Dan cowok yang sedang mengulum kontolnya itu adalah si Willy! Shit!
Si Tonipun edan. Masak mulutnya juga ngulum kontol si Willy? Ngawur! Yang benar aja, kontol gede si Willy itu dikuluminya dengan penuh nafsu seperti ngulum permen lolipop saja. Toni kulihat salah tingkah setelah menyadari kehadiranku. Buru-buru dilepaskannya kontol si Willy dari mulutnya. Ia segera bangkit dan membereskan celananya. Sementara si Willy kulihat tenang-tenang saja.
"Ngapain Tom? Masuk kamar gue kok enggak ngetuk pintu dulu," kata Toni terlihat kurang suka padaku.
"Memang elo pernah ngetuk pintu kalau masuk kamar gua?" sahutku. Kupandangi keduanya dengan tatapan tajam. Willy kulihat tersenyum padaku.
"Hai Tom," katanya melambaikan tangan seperti tak ada apa-apa.
"Ngapain elo berdua?" kataku dingin.
"Enggak ngapa-ngapain. Mau ngapain elo?" sahut Toni masih salah tingkah.
"Enggak ngapa-ngapain?! Jelas-jelas mata gua ngelihat elo berdua sedang emut-emutan kontol kok elo bisa ngomong enggak ngapa-ngapain. Elo homo?!" kataku.
"Siapa yang homo? Enak aja!" kata Toni protes.
"Kalau bukan homo, apa namanya cowok sama cowok emut-emutan kontol begitu? Nah elo, kok elo bisa..," kataku pada Willy.
Kalimatku tak kusambung. Aku menatap bingung padanya.
"Sante aja men. Ini hal yang biasa kok," sahut Willy tanpa beban.
"Biasa??!" tanyaku bingung. Dahiku mengernyit.
"Iya. Gue sama Toni kebetulan lagi sama-sama horny. enggak ada pelampiasan, ya sudah, kenapa kita enggak maen berdua aja. Toh tujuannya cuman untuk melampiaskan birahi doang. Maen sama cewek juga emut-emutan kan. Gua punya mulut, Toni punya mulut, kan bisa dipake untuk ngemut. Hasilnya tetap sama kok," sahut Willy tenang.
Gigolo ganteng itu benar-benar tenang luar biasa. Sepertinya apa yang dilakukannya bersama Toni itu bukan hal yang aneh. Aku jadi terkesima mendengar jawabannya. Toni kulihat mengangguk-angguk mendengar kata-kata Willy. Duduk dengan seragam SMUnya diatas ranjang, adik bungsuku itu tak berkata apa-apa.
"Gua enggak ngerti deh. Gua yang gila atau elo berdua yang gila," kataku.
"Enggak ada yang gila Tom. Apa gue pernah ngatain elo gila karena elo suka mandangin kontol gua? enggak pernah kan?"
"Maksud elo?"
"Jangan pura-pura bego. Gue tahu kok elo suka curi-curi pandang lihat tonjolan di selangkangan gue. Apalagi kalau pas gue telanjang bulat. Mata elo kan sampai melotot ngelihat adik gue ini kan," kata Willy.
Ia menggoyang-goyangkan kontolnya yang sudah lemas. Memamerkannya padaku. Aku tak tahu mau bilang apa lagi. Tak kusangka Willy mengetahui kalau aku selalu memperhatikan perkakasnya selama ini.
"Sudahlah. Sekarang elo mau berdiri terus disitu sambil ngelihatin kita sekaligus melototin kontol gue, atau mau ikutan bareng kita menikmati anugerah yang kita miliki. Tom kita harus bersyukur lo, kita bertiga kan dianugerahi kontol yang punya ukuran diatas rata-rata. enggak banyak lo orang yang dianugerahi hal beginian," kata Willy.
Benar yang dikatakan Willy. Kami bertiga memang punya ukuran kontol yang diatas rata-rata. Adikku si Tony kulihat juga punya kontol yang gede. Ukurannya enggak jauh-jauh dengan ukuranku.
Akal sehatku sirna. Aku yang memang sudah cukup lama tergoda dengan kontol si Willy akhirnya pasrah saja saat Willy dan Toni membimbingku ke arah ranjang. Kubiarkan saja mereka mempreteli seluruh pakaianku. Kami bertiga telanjang bulat di dalam kamar Toni.
Willy memberikan penghormatan khusus padaku. Rasa penasaranku pada kontolnya yang gede itu dipuaskan olehnya. Willy mengangkangi leherku saat aku berbaring telentang di atas ranjang. Kontolnya yang besar ditampar-tamparkannya ke pipiku. Birahiku menggelegak. Pertama kali seumur hidupku aku diperlakukan seperti ini. Saking menggelegaknya birahiku akhirnya apa yang tak pernah terpikirkan selama ini dibenakku kulakukan. Kukulum kontol Willy sepuas-puasnya. Aku menggila. Seperti anjing ketemu tulang, kulahap kontol Willy. Aku tak ubahnya Mamaku dan Mimi yang tergila-gila pada kontol gigolo ganteng ini.
Rupanya Tonipun sama tergila-gilanya seperti aku. Ia berebutan denganku mengerjai kontol besar si Willy. Seringkali kudorong wajah ganteng adikku yang masih abg itu menjauhi kontol Willy, karena aku sudah tak sabar ingin memasukkan batang gede itu dalam mulutku. kalau sudah gitu, Toni cuman bisa bersungut-sungut padaku. Aku cuek aja. Sementara Willy tertawa melihat kami berebutan kontolnya seperti itu.
"Kalian sekeluarga sama binalnya deh," komentarnya.
Ia pasti teringat pada Mama dan Mimi saat mengoral kontolnya. Pasti sama maniaknya seperti aku dan Toni.
Aku jadi terlupa, bahwa aku laki-laki straight. Aku jadi menikmati permainan laki-laki seperti ini. Willy rupanya tak mau melewatkan kontolku dan Toni. Dia segera membalik tubuhnya berlawanan arah denganku. Aku dan Toni sama-sama berbaring telentang bersisian. Mulut kami bergantian mengulum kontol Willy. Sementara Willy yang menungging diatas kami menggilir kontolku dan Toni. Mulutnya ganti berganti mengulum kontolku dan kontol adikku itu. Saat mulutnya di kontolku, tangannya mengocok kontol Toni. Begitu juga sebaliknya.
Sore itu aku tak jadi latihan tenis. Kebetulan Mama belum pulang dari kantor, dan Mimi tak ada di rumah, kami puas-puaskan bermain sex bertiga. Segala apa yang memungkinkan, kami lakukan bertiga. Termasuk juga saling menyodomi satu sama lain. Baby oil yang biasanya digunakan Toni untuk coli, kami gunakan sebagai pelumas agar kontol tak terlalu sulit memasuki lobang pantat. Meski dianal adalah kali pertama buatku, tapi aku ternyata bisa menikmatinya. Diantara rasa sakit dimasuki kontol dalam lobang pantat, aku merasakan juga nikmat yang luar biasa.
Saat sore menjelang, kami segera cabut menuju kost Willy. Kami tak mau terganggu dengan kepulangan Mama dari tempat kerjanya. Pada Mama, Willy menelpon bahwa dia tak menginap di rumah kami malam itu. Ada kerjaan, alasannya pada Mama. Sementara aku dan Toni tak perlu menelpon Mama. Sudah biasa kami tak tidur di rumah. Jadi Mama tak akan merasa aneh. Malam itu kami puas-puaskan bermain cinta bertiga. Tak peduli, bahwa aku dan Toni adalah saudara kandung, kami juga saling menyodomi.
Setelah beberapa kali bersetubuh, akhirnya kami bisa memahami posisi masing-masing. Meskipun kami sama-sama fleksibel saat bercinta, namun Toni lebih suka pada posisi dianal, baik olehku maupun Willy. Sedangkan aku dan Willy suka keduanya, baik dianal dan menganal. Hanya saja aku lebih menikmati dianal oleh Willy daripada oleh Toni. Kontol Willy yang sangat besar sungguh membuatku keenakan. Aku sampai menggelepar-gelepar saat dianalnya.
kalau menganal, aku lebih suka melakukannya pada Toni. Aku sangat suka melihat ekspresi adikku yang sepertinya kesakitan namun terus memaksaku untuk mengentotnya dengan buas. Sedangkan kalau menganal Willy, aku tak menemukan ekspresi itu. Willy sudah sangat profesional dalam hal ini. Ternyata dia adalah gigolo bagi wanita dan laki-laki sekaligus. Saat dientot, ekspresinya hanya penuh kenikmatan saja. Lagipula, lobang pantat Willy tak sesempit lobang pantat si Toni. Lobang pantat Willy sudah mengendor. Dia sudah sering dientot oleh laki-laki lain.
Kami bercinta tiada henti. Willy memberikan kami minuman rahasia miliknya. Minuman yang membuat tenaga kami tak kunjung sirna. Pantas saja tenaga gigolo ini bak kuda liar. Ia punya ramuan rahasia rupanya. Saat kutanyakan pada Willy, apa cairan itu dan darimana ia memperolehnya, gigolo itu tak mau mengatakannya padaku.
"Ini rahasia perusahaan," jawabnya. Aku dan Toni tertawa mendengar jawabannya.
Hari kamis esoknya, harusnya Toni sekolah. Tapi adik bungsuku itu bolos. Aku juga bolos kuliah, pun Willy. Kami seperti mesin sex. Toni tak bosan-bosannya memintaku dan Willy bergantian menghajar lobang pantatnya. Dia benar-benar ketagihan.
"Pantes aja cewek-cewek suka dientot. Enak banget men," komentarnya.
Pantat Toni yang putih dan montok penuh semangat bergerak saat Willy atau aku menyodominya. kalau kupikir-pikir, goyang ngebor Inul, kalah jauh deh dibandingin ngebornya si Toni. Membuatku dan Willy tak kuasa untuk menahan orgasme. Sperma kami tumpah memenuhi lobang pantat adikku itu. Kamar kos Willy semerbak dengan bau sperma dan keringat kami. Bau ini malah semakin membuat kami bernafsu untuk mengentot lagi dan lagi.
Setelah sore, akhirnya kami kembali ke rumah. Dan sejak itu kami menjadi rutin ngesex bertiga. Mencuri-curi kesempatan tanpa sepengetahuan Mama dan Mimi. Apa yang kami lakukan adalah rahasia kami bertiga. Tak perlu orang lain tahu. Termasuk juga cewek-cewek kami. Apalagi Mama dan si Mimi.
(Tamat)
Langganan:
Postingan (Atom)